Artikel ini sudah diterbitkan dalam ed.
Bert Tallulembang, Reinterpretasi dan
Reaktualisasi Budaya Toraja; Refleksi Seabad Kekristenan Masuk Toraja, (Penerbit
Gunung Sopai, Yogyakarta, 2012): 19-43; dengan isi yang sama tapi judul
berbeda: “Sebuah Pesan untuk Perayaan Natal Ekumenis”, dalam ed. Michael Andin,
Perantau Toraja; Bersama Membangun Toraja, (Penerbit PAPT, Jakarta, 2010):
7-27; Sumber dan Kepustakaan: 167-168.
Oleh : John Liku-Ada’
PENGANTAR
Tulisan
ini sebenarnya disiapkan untuk Pertemuan Akbar Perantau Toraja, 27-30 Desember
2010, yang dirangkaikan dengan “Event
Lovely December 2010” dan Natal Bersama Antar Pemerintah dan Masyarakat
Toraja. Dalam rangka itu direncanakan menerbitkan buku kumpulan tulisan,
berjudul Perantau Toraja: Bersama
Membangun Toraja. Naskahnya diangkat dari homiIi saya di salah satu Misa pada
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI),
yang berlangsung di Wisma Kinasih, Caringin-Bogor, 1-5 November 2010. SAGKI
2010 mengambil tema “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan
mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10), dan menggunakan metode
berkisah. Ketika itu saya memilih judul homiIi “Kisah Yesus di Toraja: Aluk To Dolo Menantikan Kristus”. Sesuai
dengan maksud Pertemuan Akbar, tulisan tersebut diberi judul “Pesan untuk
Perayaan Natal Ekumenis – Pertemuan Akbar Perantau Toraja”. Ketika berdiskusi
dengan Pengurus ISKA DPD Sulsel, mereka begitu tertarik dengan gagasan ‘interpretasi
gelombang kedua’ sehingga merancang seminar untuk itu, dan menjadikan naskah
ini sebagai fokus pembahasan. Judul pun diganti sebagaimana tertera di atas,
meski isinya sama. Bagian pertama memuat secara lengkap naskah homili di
SAGKI 2010. Bagian kedua berbicara mengenai tantangan-tantangan yang
menyertai kisah kehadiran Yesus di Toraja, sehingga kelimpahan hidup yang
dibawa olehNya belum sepenuhnya terwujud. Dan bagian ketiga, memandang
ke depan dalam terang Injil.
1.
KISAH
YESUS DI TORAJA: ALUK TO DOLO MENANTIKAN
KRISTUS
Di abad
ke-17, tepatnya pada tahun 1685, Pater Nicolas Gervaise, SJ, menerbitkan sebuah
booklet berjudul Description historique
du Royaume de Macaçar. Booklet ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggeris pada tahun 1701 dengan judul An
Historical Description of the Kingdom of Macasar in the East-Indies. Beliau
memperoleh sumber informasi dari dua putera bangsawan Kesultanan Makassar yang
sedang belajar dan tinggal di Kolese Jesuit di Paris. Dalam buku itu Pater
Gervaise meramalkan bahwa, orang Toraja akan dengan mudah menerima Injil. Awal
pewartaan Injil di kalangan orang Toraja ditandai dengan datangnya Pdt. A.A.
van de Loosdrecht dari Gereformeerde
Zendingsbond (GZB) pada 10 Nov. 1913. Ramalan Pater Gervaise selanjutnya
menjadi kenyataan. Kini, setelah hampir seabad pewartaan Injil, sekitar 90%
orang Toraja yang mendiami 3 Kabupaten (Tana Toraja, Mamasa dan Torut) memeluk
Kekristenan (Protestan, Katolik, dan denominasi-denominasi baru). Berbeda
dengan penyebaran Agama Islam yang sesungguhnya telah diupayakan sejak abad
ke-17 dan memuncak dengan pemaksaan pada dekade 1950-an oleh gerombolan DI/TII
pimpinan Kahar Muzakhar.
Kita bertanya, apa gerangan sebabnya sehingga bisa
terjadi demikian?
Rm. Thomas Cooper, salah seorang pelopor ‘teologi
cerita’ telah mendaftarkan sejumlah pedoman praktis dalam menjalankan ragam
teologi ini. Salah satunya berbunyi, “Dengarkanlah kisah-kisah (mite)
bangsa/suku bangsa anda”. Secara populer, mite dipahami sebagai dongeng, hasil
khayalan manusia. Namun para ahli berpendapat bahwa, mite tidak bersumber pada
imaginasi melainkan pada realitas, sejauh sebagai sebuah realitas khusus yang
dihayati secara intensif oleh sekelompok orang. Mite, sebagaimana didefinisikan
oleh Bruno Borchert, adalah “cerita yang di dalamnya dimampatkan
pengalaman-pengalaman bersama (sekelompok) manusia, dan merupakan jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan kehidupan manusia”.
Nah, dengan pedoman itu kita perlu
‘mendengarkan’ mite-mite Toraja. Aluk To
Dolo (=Agama Leluhur), agama asli Toraja, sangat kaya dengan kisah-kisah
mitologis. Studi atas kisah-kisah mitologis itu, khususnya yang terangkum dalam
Passomba Tedong, doa ritual penyucian
kerbau, membawa kita menemukan adanya paham ‘sejarah keselamatan’ versi Aluk To Dolo. Sejarah keselamatan ini
dimulai dengan kisah penciptaan manusia dan segala makhluk lainnya oleh Puang Matua (Tuhan). Makhluk-makhluk
diciptakan dalam keadaan bersaudara. Penciptaan ini terjadi di dunia atas (lan tangngana langi’ = di tengah
langit). Jadi manusia dan makhluk-makhluk lainnya berasal dari dunia atas.
Kemudian oleh Puang Matua diturunkan
ke bumi melalui sebuah tangga (Eran
diLangi’= Tangga dari Langit) di Bamba
Puang (=Pintu Tuhan), sebuah lokasi yang kini masuk wilayah Kab. Enrekang.
Keadaan pada masa permulaan itu digambarkan sebagai periode ala firdaus.
Hubungan erat akrab antara manusia dan Penciptanya dilambangkan dengan tetap
tegaknya Eran diLangi’, yang
menghubungkan surga dan bumi; melalui tangga tersebut manusia dengan mudah
berkomunikasi dengan Puang Matua.
Hubungan antara manusia dan Pencipta dengan sangat jelas berciri dialogis dan
dijiwai semangat kekeluargaan.
Tetapi kemudian hubungan akrab ini
dirusak oleh dosa manusia. Londong diRura
bertegar tengkuk mengawinkan sepasang anak kandungnya, suatu pelanggaran yang
tidak dapat ditolerir Puang Matua.
Sebagai akibatnya Eran diLangi’
ditumbangkan dan sebagian peserta pesta perkawinan itu mati, ada yang menjadi
batu, ada yang tenggelam ke dalam celah memanjang yang dalam. Untuk mereka yang
mati diadakan upacara. Itulah upacara kematian yang pertama. Sejak itu Sang
Pencipta menjadi seorang Puang Matua yang
jauh, walaupun Dia tidak pernah meninggalkan manusia sama sekali. Dia setiap
kali masih tetap dapat dihubungi lewat ritus ma’biangi (menggunakan tanda). Dan manusia setelah mati pergi ke padang bombo (=tanah jiwa-jiwa), yang
disebut Puya. Puya itu dilokalisir di bumi, di mana dulu berdiri Eran diLangi’. Namun, tujuan akhir
manusia bukanlah Puya melainkan
surga!
Kerinduan yang tidak pernah padam akan
dipulihkannya kembali hubungan erat seperti semula antara surga dan bumi
akhirnya terjawab dengan inisiatif dari atas. Puang Matua mengirim seorang utusan, seorang pembaharu religius, to manurun Tamboro Langi’ (to manurun = orang yang turun dari
langit). Restorasi keagamaan Tamboro Langi’ (Aluk Sanda Saratu’) secara khusus dikongkritkan dalam upacara dirapai’, bentuk tertinggi ritual
kematian. Pelaksanaan upacara dirapai’
menjamin arwah orang yang meninggal itu akan beralih dari Puya dan naik ke langit (la
lao langngan langi’). Tetapi upacara tersebut aslinya secara ketat hanya
diperuntukkan bagi mereka dari kasta tertinggi dalam masyarakat (tana’ bulaan). Pembagian kasta dalam
masyarakat di Toraja mulai dikenal sejak datangnya para tomanurun. Para tomanurun itulah,
termasuk di dalamnya Tamboro Langi’, serta keturunan mereka yang menjadi
anggota tana’ bulaan. Hanya kelompok
inilah yang memiliki hak mengadakan upacara dirapai’,
dan itu berarti hanya merekalah yang memiliki kemungkinan naik ke langit. Dan
sesungguhnya dalam alam pikiran keagamaan Aluk
To Dolo, hal ini dapat dipahami. Bukankah nenek moyang mereka turun dari
langit sesudah Eran diLangi’ tak ada
lagi? Jadi mereka dapat kembali ke langit, walaupun Eran diLangi’ belum ditegakkan kembali. Hanya saja upacara dirapai’ itu begitu mahal, sehingga
tidak semua anggota tana’ bulaan
mampu melaksanakannya. Karena itu Aluk
Sanda Saratu’ dari Tamboro Langi’ gagal dalam mewartakan dibukanya kembali
pintu surga bagi semua orang. Puya
masih tetap ada di lokasi bekas kaki Eran
diLangi’ sebagai tempat penampungan tetap bagi bagian terbesar manusia yang
rindu kembali ke asalnya yang asli: dunia atas, surga.
Kendati Puya itu bukanlah surga, namun dalam paham Aluk To Dolo kehidupan di akhirat Puya itu lebih sejati dibandingkan dengan kehidupan di dunia sini.
Itu nyata dari londe (sejenis pantun)
ini:
Pa’bongian ri te lino (Semata tempat bermalamlah dunia ini)
Pa’gussali-salian (Tempat tinggal sementara)
Lo’ ri Puya (Nun
di Puya sana)
Pa’tondokan
marendeng (Negeri kediaman nan sejati)\
Pemeluk Aluk
To Dolo sangat was-was, jangan sampai sesudah meninggal tidak diperkenankan
masuk Puya oleh penjaga Puya, Pong Lalondong.
Apa yang menentukan, apakah seseorang boleh atau
tidak masuk ke Puya? Bukan soal,
apakah hidupnya di dunia ini baik (sesuai dengan kehendak Allah) atau tidak?
Dalam Aluk To Dolo tidak dikenal
paham pembalasan di akhirat; yang ada ialah pembalasan di bumi. Yang menentukan
ialah, apakah ritual kematiannya dipenuhi menurut aturan aluk (agama). Maka tidak terbayangkan seseorang dikuburkan tanpa
upacara kematian sesuai tingkatannya. Ini menandaskan Aluk To Dolo sebagai agama kultis.
Saat ini Gereja, memperingati arwah semua orang beriman.
Dalam konteks kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo) peringatan ini sungguh
bermakna:
Pada awal mula Puang
Matua menciptakan manusia dan makhluk-makhluk lainnya dalam keadaan
bersaudara di dunia atas (lan tangngana
langi’). Kemudian Puang Matua menurunkan
mereka ke bumi melalui sebuah tangga yang menghubungkan langit dan bumi (Eran diLangi’). Semula segalanya
berjalan baik dalam suasana paradiso. Hubungan erat akrab antara Sang Pencipta
dan ciptaanNya berlangsung terus, dilambangkan dengan tetap tegaknya Eran diLangi’ di tempatnya. Tetapi
kemudian manusia jatuh ke dalam dosa (Londong
diRura mengawinkan sepasang anak kandungnya). Sebagai akibatnya, hubungan
akrab antara manusia dan Puang Matua, terputus
(dilambangkan dengan runtuhnya Eran
diLangi’), dan maut masuk ke dalam dunia. Setelah manusia meninggal, ia
tidak dapat lagi kembali ke asalnya di dunia atas, di mana Puang Matua, Sang Pencipta, berdiam. Ia hanya dapat masuk Puya (Negeri Arwah), yang dilokalisir di
tempat di mana dahulu Eran diLangi’
berdiri (suatu ungkapan kerinduan manusia Toraja untuk kembali ke asalnya di
dunia atas, bersatu dengan Penciptanya). Kemudian harapan akan terpenuhinya
kerinduan itu muncul lagi dengan datangnya to
manurun Tamboro Langi’ membawa Aluk
Sanda Saratu’. Namun ternyata tomanurun
Tamboro Langi’ gagal menegakkan kembali Eran
diLangi’. Ia hanya menjadi ‘penyelamat’ bagi keturunannya yang diupacarakan
dengan ritual tertinggi kematian (dirapai’).
Jadi bagian terbesar manusia Toraja yang sudah meninggal tetap tinggal di Puya, semacam tempat penantian!
Lalu
datanglah INJIL, Berita Gembira:
“Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga
Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Yesus,
Sang Sabda itu “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh. 1:14).
Dan “semua orang yang menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak
Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya” (Yoh. 1:12). Ya, Dialah Tomanurun Baru yang dinanti-nantikan.
Sekaligus Dialah Eran DiLangi’ Baru:
“Akulah JALAN dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Melalui dan dalam Yesus
Kristus, manusia Aluk To Dolo tidak
perlu lagi tinggal terus di Puya
sesudah meninggal. Ia dapat kembali ke asalnya di dunia atas, bersatu dengan
Penciptanya (surga)! Ramalan Pater Gervaise di abad ke-17, bahwa orang Toraja
akan mudah menerima Injil bukanlah ramalan hampa. Sebab sesungguhnya Aluk To Dolo menantikan Yesus Kristus! Aluk To Dolo merupakan persiapan Injil (praeparatio evangelica). Hanya saja,
bagi Aluk To Dolo, bukan hanya
manusia yang berasal dari dunia atas melainkan juga makhluk-makhluk lainnya;
pada awal mula mereka diciptakan dalam keadaan bersaudara di dunia atas. Maka
yang harus kembali ke asalnya bukan manusia yang terlepas dari dunianya,
melainkan manusia-dalam-dunianya. Inilah dasar dari segala pengorbanan pada
upacara kematian dalam Aluk To Dolo.
Yang dirindu-rindukan dalam Aluk To Dolo
ialah “langit yang baru dan bumi yang baru”, di mana “maut tidak akan ada lagi;
tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis atau dukacita, sebab segala
sesuatu yang lama itu telah berlalu” (bdk. Why. 21:1-5). Maka mengakhiri kisah
ratap bagi almarhum/almarhumah dalam “Ossoran
Badong To Dirapa’i”, para pelayat bermadah doa harapan:
La sipassakkemo’
bating (Di
madah ratap ini mari kita saling memohonkan berkat)
la sibenmo’ tuo-tuo. (Kita
harapkan untuk satu sama lain umur panjang)
Masakkeko kumasakke, (Semoga kau sejahtera, semoga aku sejahtera)
tabassing makole-kole (Semoga
hidup kita sama-sama bahagia selalu)
Dan
kedatangan Kristus ke Toraja memenuhi doa harapan ini: Ia datang, agar manusia
Toraja “mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh.
10:10).
2.
DISERTAI
IRONI-IRONI MUSKIL
Sayangnya
kisah kedatangan dan kehadiran Yesus di Toraja, agar orang Toraja mempunyai
hidup dalam segala kelimpahan, bukan tanpa tantangan dan kesulitan berat.
Berikut ini saya ingin mengemukakan tiga bentuk ironi muskil yang sudah dan
masih sedang berlangsung di Toraja:
2.1.
Kristenisasi
dan Desakralisasi-Sekularisasi di Toraja
Sejak
awal pewartaan Injil di Toraja, para misionaris Protestan (GZB) diperhadapkan
pada sebuah dilemma teologis pelik. Di satu pihak, kepercayaan asli (Aluk To Dolo) tertanam sangat dalam dan
menjiwai hidup manusia Toraja, dan penghayatannya terungkap ke luar dalam
ritual rambu tuka’ (menyangkut
kehidupan) dan rambu solo’
(menyangkut kematian). Di lain pihak, tentu harus tetap setia pada prinsip
dogmatis Kalvinis; sinkretisme harus dicegah.
Maka dewan misionaris membentuk apa yang disebut ‘Komisi Adat’ untuk menangani
masalah sulit ini. Komisi ini mengajukan kriteria dasar untuk digunakan, yaitu
bahwa agama dapat dipisahkan dari budaya.
Jadi agama tradisional (aluk)
dapat dipisahkan dari adat (ada’).
Logika lengkapnya, ada’ dan
Kekristenan dapat saling melengkapi, sama seperti ada’ dan aluk, keduanya
dapat dipadukan tanpa jatuh ke dalam bidaah (lih. uraian dlm. Bigalke, 1982:
213-224).
Komisi
Adat memeriksa dengan cermat ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan (rambu tuka’) dan ritual yang menyangkut
kematian (rambu solo’). Hasilnya,
praktis semua ritual rambu tuka’
dilarang bagi orang Kristen, kecuali pesta sesudah panen dan pemberkatan rumah tongkonan. Namun, juga pada pesta
sesudah panen dan pemberkatan tongkonan dilarang
keras melaksanakan ritus yang berbau agama (aluk).
Namun, menyangkut rambu solo’, Komisi
Adat sangat menyadari bahwa penerimaan Kekristenan ke depan oleh orang Toraja akan
sangat tergantung pada kebijakannya terhadap ritual rambu solo’. Begitu dalam dan kuatnya tradisi upacara kematian itu
tertanam di hati manusia Toraja, sebagaimana terungkap dalam semboyan “sipopa’di’ – siporannu”, membuat Zending tidak mungkin melarang
orang-orang Kristen mengambil bagian di dalamnya. Maka berbeda dengan sikap
yang diambil terhadap rambu tuka’,
kebijakan menyangkut rambu solo’
boleh dikatakan lebih lunak. Yang terpenting adalah bahwa rambu solo’ yang dilaksanakan orang Kristen harus dibersihkan dari
setiap unsur agama (aluk), dan
menjadi sekedar upacara budaya (ada’).
Disadari
atau tidak, kebijakan ini selanjutnya membawa perubahan sangat mendasar dalam hidup
keagamaan dan kerohanian masyarakat Toraja. Dalam agama asli Toraja (Aluk To Dolo), aluk dan adat merupakan satu kesatuan utuh, tidak dapat dipisahkan.
Tidak dikenal dikotomi, atau pembagian dua yang saling bertentangan, antara
hidup keagamaan dan hidup profan. Dan ritual rambu tuka’ serta rambu solo’
sesungguhnya merupakan ungkapan penghayatan kedalaman kerohanian, yang disebut
religiositas. Bagi Aluk To Dolo
setiap segi kehidupan manusia adalah suci, mengandung unsur mistik. Dan ini
sejalan dengan pandangan Karl Rahner, SJ, yang oleh banyak orang dianggap
sebagai teolog Katolik terbesar abad ke-20, tentang ‘mistisisme hidup sehari-hari’. Rahner tidak hanya menekankan suatu
mistisisme batin. Tanpa ragu-ragu ia berbicara mengenai dimensi mistik dari
makan, minum, tidur, berjalan, duduk, dan lain-lain hal serba biasa dalam hidup
sehari-hari. Baginya setiap segi eksistensi manusia memuat suatu pengalaman
implisit mengenai misteri yang kita namakan Allah (dikutip dlm. Egan, 1984:
246-248). Sedemikian itu, maka kebijakan memisahkan aluk dari adat membawa dampak mematikan jiwa religiositas
masyarakat. Secara paling jelas hal ini nampak pada upacara kematian.
Dalam
Aluk To Dolo, upacara kematian dalam
bentuk tradisionalnya dengan pengorbanan hewan-hewan mempunyai dasarnya dalam
aluk; dengan lain kata dasarnya adalah religius/kepercayaan. Karena itu
memisahkan unsur-unsur religius dari pemakaman tradisional berarti mengosongkannya
dari dasar yang sesungguhnya. Target utama yang disasar kebijakan Komisi Adat
tersebut tentulah berkenan dengan paham ‘bekal’, yaitu kepercayaan bahwa
hewan-hewan yang dikorbankan itu akan menemani si mati ke dunia akhirat. Namun,
sebagaimana sudah disinggung secara sepintas lalu dalam bagian pertama tulisan
ini, dalam hal ini tersangkut pemahaman paling fundamental manusia Toraja
mengenai eksistensinya: manusia adalah bagian integral dari kosmos dan
hubungannya dalam keadaan bersaudara dengan makhluk-makhluk lainnya adalah
transenden (manusia dan makhluk-makhluk lainnya diciptakan dalam keadaan
bersaudara pada awal mula di dunia atas melalui sauan sibarrung). Dengan demikian menghapuskan keyakinan ‘bekal’
tentu saja mempengaruhi pemahaman manusia Toraja akan relasinya yang hakiki
menyangkut misteri diri-sesama-dalam kosmos (bdk. tema ‘langit baru dan bumi
baru’ dalam Kitab Wahyu).
Ketika
upacara pemakaman tradisional itu dikosongkan dari motif religius, maka ia
membutuhkan motif baru. Dengan demikian berlangsunglah proses perubahan motif.
Pengorbanan hewan pada upacara kematian tradisional itu juga menyangkut apa
yang disebut “siri’ to mate” (siri’ orang mati). Ini menyangkut
tanggung jawab seseorang terhadap orang tua atau kakek-nenek. Siri’ to mate mewajibkan seseorang untuk
berusaha sekuat tenaga melaksanakan upacara kematian itu demi keselamatan orang
tua atau kakek-nenek di akhirat. Jadi siri’
to mate itu pertama-tama ditentukan oleh hubungan kekeluargaan antara orang
hidup dan orang yang sudah meninggal. Nah, ketika unsur-unsur religius
dihapuskan dari upacara kematian, maka siri’
to mate bergeser menjadi siri’ to tuo
(siri’ orang hidup). Siri’ to tuo, yang menyangkut baik harga diri maupun malu, ditentukan
dalam konteks publik. Penyimpangan selanjutnya dapat mengubah aspek positif siri’ ke arah konsentrasi berlebihan
pada gengsi pribadi dan keluarga. Dan itulah tampaknya yang telah terjadi.
Upacara kematian telah berangsur-angsur berubah menjadi konsentrasi dan
manifestasi siri’: pelaksanaan
upacara kematian yang semarak dan mahal akan menaikkan gengsi yang
bersangkutan/keluarganya, sedangkan kegagalan melaksanakannya akan membuat malu
yang bersangkutan/keluarganya. Maka kiranya benar sekali keluhan yang katanya
pernah disampaikan seorang to minaa
(ahli adat) kepada seorang pastor misionaris Katolik dari Belgia:
“Kamu orang Belanda menuduh
agama kami menyebabkan kemiskinan bagi orang Toraja karena pengorbanan
berlebih-lebihan pada upacara kematian. Tetapi ketahuilah, baru setelah agama
Serani itu datang, batasan yang tegas dan jelas menurut adat perihal tingkat
dan jumlah yang boleh dikorbankan pada suatu upacara kematian menjadi kabur dan
berubah menjadi tak kenal batas lagi” (dikutip dlm. Liku-Ada’, 1974:42).
Tentu
tidak adil mencap Kristenisasi di Toraja sebagai suatu proses desakralisasi
atau sekularisasi dan menanggungkan semua aspek negatif proses itu padanya.
Namun, kebijakan yang diambil oleh Komisi Adat itu, kendati berdasarkan
pertimbangan teologis khusus, tampaknya telah membawa efek-efek samping negatif
tertentu, yang secara ironis justru merugikan religiositas dan solidaritas asli
Toraja. Dan kasus yang kemudian dikenal dengan nama “Sumpah Pocong” yang
terjadi pada 5 Februari 1994 di desa Tondon Matallo, kini masuk wilayah Kab.
Toraja Utara, kiranya baik secara nyata maupun secara simbolis mengungkapkan
seberapa jauh proses desakralisasi dan sekularisasi itu telah merasuk dalam masyarakat
Toraja (lih. analisa kasus tersebut dlm. Liku-Ada’, 2006: 114-118).
2.2.
Perantau
Toraja: Antara Obsesi Mantunu dan Obsesi Membangun
Kampung Halaman
Sudah bukan rahasia lagi bahwa ekses
luar biasa upacara kematian di Toraja banyak ditopang justru oleh para perantau
Toraja. “Para perantau (Toraja) ikut memberi sumbangan besar bagi persaingan baru
dalam pemotongan kerbau pada upacara penguburan di Toraja. … Ada beberapa cara
yang digunakan oleh orang Toraja yang
berada di luar daerah untuk berpartisipasi dalam upacara rambu solo’ atau penguburan. Mereka yang tinggal di kota besar,
seperti Makassar, mengirim dana kepada kerabat di Toraja untuk membeli babi,
atau tedong. Ada juga yang membeli babi untuk dipelihara keluarga yang tinggal
di Toraja. Babi-babi tersebut dimaksudkan untuk disembelih jika ada pesta baik rambu tuka’ maupun rambu solo’”. Begitu juga “mereka yang tinggal jauh dari Toraja
yang memiliki penghasilan lebih tinggi daripada orang Toraja di Makassar…
mentransfer uang kepada keluarga mereka di kampung untuk membeli tedong sebagai kontribusi untuk upacara
kematian” (Aditjondro, 2010: 38-40). Aditjondro menulis selanjutnya: “Selama
Orde Baru, jumlah tedong yang
dikorbankan meningkat sepuluh kali lipat, akibat motif-motif persaingan serta
demi kepentingan pariwisata” (Ibid: 43). Menurut sumber yang mengetahui persis,
setiap bulan sekian miliar rupiah masuk ke Toraja. Tetapi hanya untuk beberapa
hari, lalu ke luar lagi. Mengapa? Karena hewan korban, babi dan kerbau, yang
masih tersedia di Toraja jauh daripada mencukupi untuk keperluan rambu solo’ dan rambu tuka’. Karena itu harus didatangkan dari tempat lain (lih.
juga Aditjondro, 2010: 53-66).
Pada
lain pihak, pada umumnya orang Toraja perantauan memiliki keprihatinan akan
pembangunan kampung halaman. Dalam kurang-lebih tiga dekade terakhir berbagai
pertemuan dan seminar bertemakan sekitar pembangunan Toraja telah digelar di
tempat yang berbeda-beda. Barangkali kegiatan terbesar yang pernah diadakan
sampai sekarang adalah acara reuni internasional masyarakat Toraja, Toraya Mamali’ (Rindu Toraja), yang
puncaknya berlangsung 28 Oktober 2006 di Makale. Dalam buku Panduan dirumuskan tujuan
kegiatan akbar tersebut sebagai berikut: “Mengembalikan berbagai predikat
keunggulan dan trade mark yang pernah
disandang Toraja, antara lain: (1) Daerah kembang, kota sejuk dan bersih; (2)
Berpendidikan, pintar dan trampil; (3) Rajin, bertanggungjawab, jujur dan penuh
sopan santun; (4) Memiliki warisan yang unik; (5) Penghasil pertanian (sayur
mayur). Demi terwujudnya tujuan tersebut tindakan nyata dan konkrit yang segera
harus diambil diarahkan pada tiga sektor garapan utama:
(1) Pendidikan:
Sekolah-sekolah mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi akan ditingkatkan sarana
pendukungnya untuk mendapatkan output/anak didik sebagai lulusan unggulan baik
kualitas maupun kuantitas. Sasaran perbaikan dan peningkatan dalam bidang
pendidikan dititikberatkan pada hal-hal berikut: budi pekerti, iman, proses
pengajaran, tenaga pengajar, waktu wajib belajar, perpustakaan, laboratorium,
latihan ketrampilan (komputer, bahasa, seni, public speaking, praktek), asrama
untuk menampung siswa-siswa unggul, subsidi.
(2) Pariwisata: Penataan dan
pelestarian nilai-nilai budaya khas Toraja dalam rangka mewujudkan nilai-nilai
kreativitas kehidupan yang tetap mengacu pada nilai budi pekerti Toraja yang
luhur dan sekaligus menjadikan kebudayaan Toraja sebagai salah satu daya tarik
utama wisata dalam dan luar negeri, di samping pesona alam dan kesejukannya.
Titik berat pada bidang pariwisata diarahkan pada: promosi, lingkungan,
pedesaan, perkotaan, perkantoran yang bersih dan asri, pelestarian lingkungan,
penataan pasar tradisional.
(3) Pertanian: Lahan yang
subur dengan alam pegunungan yang sejuk sebagai pemberian Tuhan yang Maha
Kuasa, kembali difungsikan sebagai lahan pertanian sayur mayur, buah-buahan,
bunga-bungaan dll. Di samping pengelolaan lahan pertanian memiliki nilai
ekonomis yang produktif, juga menjadikan Toraja Kota Kembang dengan bunga-bunga
warna-warni yang memiliki daya tarik tersendiri, dan menjadikan Toraja yang
indah, aman dan nyaman (Idaman). Titik berat dalam bidang pertanian meliputi:
bercocok tanam, penyediaan bibit, bantuan pupuk, penyediaan alat, koperasi,
tenaga penyuluh, sekolah poli, sistem pengairan, wajib tani.
Bahkan di acara puncak itu diadakan
Ikrar Masyarakat Toraja, berjudul “IKRAR TORAYA MAMALI’“, dari berbagai lapisan
masyarakat: Rohaniwan; Siswa, Mahasiswa dan Pendidik; Pelaku Ekonomi; Aparatur
dan Organisasi Kemasyarakatan; Semua yang Hadir. Namun, kini sudah lebih empat
tahun berlalu tetapi belum tampak perubahan berarti di masyarakat. Malahan
terkesan bukan kemajuan melainkan kemunduranlah yang terjadi. Sekedar menyebut
satu dua contoh kecil: prasarana jalan di kampung-kampung banyak yang rusak
berat; lingkungan sepertinya semakin semrawut; orang-orang kampung harus beli
sayur dari pasar, yang konon didatangkan dari Kabupaten Enrekang. Ketika berada
di Toraja beberapa kali saya bercanda, “Kapan ya kita akan membaca berita di
surat kabar, bahwa Makale atau Rantepao mendapat piagam penghargaan, tidak usah
Adipura, sebagai kota bersih dan rapi untuk kategori Kota Kecil?” Jadi
sepertinya program-program bagus hasil pertemuan dan seminar-seminar itu masih
tetap berstatus wacana, belum sampai pada tahap pelaksanaan.
Sementara itu obsesi mantunu tampaknya semakin meluas. Dan
urusan upacara kematian tak hanya membawa dampak langsung pada bidang ekonomis,
tetapi juga pada bidang-bidang lainnya, seperti pekerjaan dan kesehatan. Saya
sulit melupakan pengalaman kecil di “Seminar dan Lokakarya Pembangunan Tana
Toraja dalam Era Globalisasi “ yang diselenggarakan BPS Gereja Toraja di Balla’
Tamalanrea, Ujung Pandang, Mei 1995. Di situ saya diminta berbicara
mengenai “Etos Kerja Manusia Toraja”.
Dengan berpangkal pada analisa interpretatif naskah Pasomba Tedong, saya sampai pada kesimpulan bahwa manusia Toraja
memiliki warisan kultural etos kerja yang kuat dan dapat menjadi modal mendasar
dalam membangun Tana Toraja. Tetapi kemudian pembicara lain membantah
kesimpulan saya, dengan berdasar pada data komposisi penduduk dan kesehatan
masyarakat Tana Toraja waktu itu. Bagian terbesar penduduk Tator terdiri dari
anak-anak dan orang-orang tua. Orang muda, yaitu kelompok usia produktif,
kebanyakan pergi merantau. Menyangkut kesehatan, data menunjukkan jarang
penduduk dewasa yang benar-benar sehat 100%. Keadaan memprihatinkan ini
terutama disebabkan kesibukan berhari-hari dari upacara kematian yang satu ke
yang lainnya, kurang tidur dan diterpa angin dingin malam-malam; asam urat dan
cholesterol tinggi karena makan daging berlebihan terus, dan karenanya juga
banyak yang menderita tekanan darah tinggi. Kecuali itu, kesibukan-kesibukan
berkelangsungan seperti ini merampas sebagian waktu kerja; pegawai-pegawai
banyak ijin-bolos, petani-petani terhalang mengerjakan sawah-ladang, dst.
Kembali ke obsesi mantunu, sesungguhnya telah ada
tokoh-tokoh masyarakat yang mengambil terobosan berani melawannya. Sebagai
contoh, Bpk. Frederik Lande’ yang bersiteguh mengadakan upacara kematian
sederhana untuk almarhum ayahandanya, Pdt. A.T. Lande’, pada pertengahan
1970-an, walau mendapat penentangan keras dari pihak keluarga. Bpk. Frederik
adalah politikus Protestan dan pendiri STM Tagari, Rantepao, dan beberapa tahun
mengetuai Yayasan Perguruan Kristen Toraja (YPKT). Selama upacara kematian itu,
beliau menolak sejumlah kerbau yang diberikan oleh para kerabat. Beliau justru
meminta sumbangan itu digunakan untuk pengairan, sekolah, dan beberapa proyek
pengembangan desa lainnya. Dengan menolak kerbau yang ditawarkan, beliau dapat
menghapuskan utang banyak orang yang mewarisi utang orang tua mereka (Volkman
1981:224-225; Aditjondro, 2010: 49-50). Contoh lain adalah Bpk. Ismerda Lebang,
purnawirawan Jenderal Polisi bintang tiga. Beliau juga beberapa tahun lalu membuat
terobosan pada upacara kematian almarhum ayahandanya, Ernest Lebang, yang juga
merupakan pensiunan polisi, dengan hanya mengorbankan tiga ekor kerbau. Ibadah
sederhana diadakan dan jenazah dibaringkan di pemakaman gereja biasa, sementara
uang untuk acara rambu solo’ itu
ditransfer untuk pengembangan masyarakat di Toraja (Aditjondro, 2010: 48-49).
Namun terobosan-terobosan berani seperti ini masih bersifat sporadis, belum
menjadi umum.
2.3. Antara Meningkatkan
PAD dan Proses Pemiskinan Masyarakat
Setiap Pemerintah Daerah tentu akan
berupaya sebaik-baiknya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ketika
Kab. Tana Toraja belum dimekarkan menjadi dua, Kab. Tator sendiri sebagai
Kabupaten induk dan Kab. Toraja Utara (Torut), saya pernah mendengar bahwa
sumber utama PAD Kabupaten tersebut adalah
pajak potong hewan di rambu tuka’ dan
terlebih rambu solo’. Saya tidak
memiliki data sebagai bukti atas informasi ini. Tetapi kalau informasi ini benar,
di sini kita menemukan ironi muskil lainnya, yang tidak kurang memprihatinkan.
Logikanya adalah: supaya PAD semakin meningkat, Pemda Tana Toraja harus semakin
giat mendorong semakin semaraknya upacara-upacara rambu tuka’ dan rambu solo’. Tetapi
bukankah itu berarti semakin mendorong masyarakat menghabiskan harta yang
mereka miliki, bahkan memaksa mereka menumpuk utang yang terpaksa diwariskan
kepada anak-cucu mereka? Padahal tugas utama sebuah pemerintahan ialah
mengupayakan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya memaksa mereka menjalani
proses pemiskinan terus-menerus!
3.
MERETAS
MASA DEPAN DENGAN SEMANGAT INJIL
Adalah
suatu hal yang menggembirakan dan patut disyukuri bahwa, obsesi membangun
kampung halaman tidak pernah padam di kalangan para perantau Toraja. Setelah
kegiatan besar “Toraya Mamali’ (Sule Sang
Torayan)” di tahun 2006, kini kembali akan menggelar “Pertemuan Akbar
Perantau Toraja” bertema “Bersama Membangun Toraja”. Pertemuan akbar ini
dirangkaikan dengan event ‘Lovely
December 2010’, program Gubernur Sulsel, yang memuncak pada perayaan Natal
Bersama di Makale, 28-12-2010. Maka tepatlah menggali dan menjadikan semangat
Natal sebagai motivasi dasar untuk mewujudkan cita-cita bersama membangun
Toraja.
Manakah
semangat Natal itu? Dengan Natal kita merayakan dalam iman kelahiran Yesus
Kristus, yang dalam teologi disebut perisitiwa inkarnasi. Prolog Injil Yohanes
mengisahkan bahwa, Firman yang pada mulanya ada bersama-sama dengan Allah dan
adalah Allah, “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (lih. Yoh.
1:1-18). Ia menjadi Imanuel, Allah yang menyertai kita (Mat. 1:23). Apa maksud
kedatangan-Nya itu? Ia sendiri menegaskan: “Aku datang, supaya mereka (manusia)
mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10). Pada
permakluman resmi mulainya Ia berkarya di depan umum, Ia lebih memerincikan
tujuan kedatangan-Nya dengan mengutip nas dari Kitab Nabi Yesaya: “Roh Tuhan
ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan pengelihatan kepada orang-orang
buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun
rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19; lih. Yes. 61:1-2). Patut dicatat bahwa
nas ini juga dikutip langsung dalam Pesan Natal Bersama PGI dan KWI tahun 2010
ini. Itu berarti pesan yang ingin kita sampaikan di sini sejalan dengan Pesan
Natal Bersama PGI-KWI tersebut.
Landasan
pertama dan utama yang mendasari pelaksanaan tugas perutusan-Nya ialah: KASIH.
“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan
nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”, demikian Ia menegaskan (Yoh. 15:13). Kasih
memang menuntut pengorbanan. “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah
dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan
banyak buah” (Yoh. 12:24). Namun kasih sejati memprasyaratkan ketegasan dalam
menegakkan kebenaran. Karena itu kita baca dalam Injil bagaimana sikap Yesus
melawan segala kemunafikan dan sikap sok benar. Terhadap sikap picik dan
tertutup dalam mempertahankan adat istiadat yang menyimpang dari perintah
Allah, Ia berkata keras: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah,
supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri” (Mrk. 7:9).
Itulah
semangat Dia yang datang sebagai Imanuel yang harus kita teladani: Ia datang
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, Ia datang untuk
membebaskan orang-orang yang tertindas dan tertawan dalam pelbagai belenggu
kehidupan; singkatnya, Ia datang agar manusia mempunyai kelimpahan hidup. Dan
Dia yang sama telah meninggalkan pesan kepada para pengikutNya: “Aku telah
memberikan teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah
Kuperbuat” (Yoh. 13:15). Marilah kita, sebagai murid-murid Yesus, mengetrapkan
pesan ini dalam menyikapi berbagai kebiasaan menekan yang berlaku dalam
masyarakat kita, termasuk dan khususnya adat istiadat mantunu.
Ada
satu terobosan menarik yang terjadi tahun silam di Stasi ‘Sto. Albertus’ Rante
Durian, Paroki Sangalla’. Kakek Pius Tollong (Ne’ Karoro’), salah seorang
perintis Gereja Katolik di Stasi tersebut, meninggal dalam usia 80-an. Jauh hari
sebelum meninggal, ia sudah berpesan kepada anak-cucunya agar kalau ia
meninggal upacara kematiannya tidak dilaksanakan menurut adat kebiasaan yang
tidak sesuai dengan Injil. Beliau menghendaki agar hewan-hewan yang mau
dikorbankan untuk upacara kematiannya disumbangkan untuk pembangunan kampung;
cukup satu-dua ekor yang disembelih demi memberi makan kepada mereka yang hadir
pada upacara kematian itu (to tongkon).
Anak-cucu kemudian menyepakati mempersembahkan 12 ekor kerbau, dan memutuskan 3
ekor akan disembelih dan 9 ekor dibiarkan hidup untuk disumbangkan. Tiga ekor
yang diputuskan disembelih, seekor pada upacara pembukaan (ma’karu’dusan) dan dua ekor pada acara puncak (mantunu). Sedangkan yang 9 ekor diperinci sebagai berikut: satu
ekor disumbangkan untuk kampung, satu ekor untuk Gereja, satu ekor untuk biaya
peralatan/hiasan pinjam-sewa, dan enam ekor untuk sumbangan pembangunan dalam
kampung. Tetapi keputusan ini ditentang keras oleh tokoh-tokoh adat dalam kampung,
dengan alasan hal itu tidak sesuai dengan ketentuan adat (tae’na ma’lalan ada’). Namun anak-cucu almarhum, yang merasa wajib
melaksanakan wasiat almarhum ayah/kakek mereka, bersiteguh menjalankan
keputusan mereka. Alhasil, konon, hingga kini tokoh-tokoh adat tetap menolak
menerima 6 ekor kerbau yang disumbangkan untuk pembangunan dalam kampung
tersebut.
Dengan
kasus di atas suatu terobosan baru yang berani dan mengesan telah terjadi.
Pertanyannya, selanjutnya berapa yang akan mampu mengikuti contoh itu? Menjadi
tantangan serius bagi Gereja-Gereja Kristiani di Toraja untuk sungguh-sungguh
berupaya membimbing umatnya sampai pada kematangan iman sedemikian rupa,
sehingga tak segan-segan meninggalkan wasiat bagi anak-cucunya seperti yang
dibuat almarhum Pius Tollong. Patut dicatat tahun 2013 yang akan datang
kehadiran Kekristenan di Toraja akan genap seabad. Kiranya momen historis itu
perlu digunakan, di samping untuk mengangkat puji syukur kepada Tuhan, juga
untuk memulai sebuah gerakan interpretasi gelombang besar kedua. Gelombang
pertama interpretasi dogmatis budaya Toraja bercorak
Kalvinis, dengan prinsip “Sola gratia,
sola scriptura, sola fide”, “Hanya dengan rahmat, hanya dengan Kitab Suci,
hanya dengan iman”. Pengetrapan ketat prinsip dogmatis ini sebetulnya harus
menolak seutuhnya baik rambu tuka’
maupun rambu solo’. Tetapi para
misionaris Zending pada dekade-dekade
pertama kehadiran Kekristenan di Toraja, sebagaimana sudah dikemukakan di atas,
sadar bahwa sikap khususnya terhadap rambu
solo’ akan menentukan diterima-tidaknya Kekristenan oleh orang Toraja
selanjutnya. Maka diambillah sikap yang lebih lunak, dengan upaya teologis
memisahkan aluk (agama/kepercayaan)
dan ada’ (adat/budaya) dalam ritual rambu solo’. Kendati, sebagaimana sudah
kita lihat, upaya itu membawa efek samping negatif berupa proses
desakralisasi-sekularisasi di Toraja, solusi tersebut berhasil: kini sekitar 90%
orang Toraja di Kab. Tana Toraja dan Toraja Utara memeluk Kekristenan. Mengapa
bisa begitu? Karena pada dasarnya Aluk To
Dolo, agama asli Toraja, menantikan Kristus!
Apa
yang kita maksud dengan gerakan gelombang kedua interpretasi budaya Toraja,
ialah menafsirkan ulang rambu solo’
dalam wujudnya yang sekarang di kalangan orang Kristiani, yang nota bene sudah
bersih dari unsur aluk dan seutuhnya
hanya merupakan manifestasi budaya, dalam terang Injil. Reinterpretasi rambu solo’ aktual dalam terang Injil akan
menghasilkan inovasi-inovasi sah yang lebih positif. Contohnya kita sudah lihat
pada kasus upacara kematian Pius Tollong (Ne’ Karoro’) di atas.
Apa
sesungguhnya yang ingin kita pertahankan dan lestarikan dari budaya kita,
warisan nilai luhur yang terkandung di dalamnya atau sekedar manifestasinya?
Marilah kita mengambil satu contoh: upacara mantaa.
Upacara mantaa merupakan salah satu
acara terpenting dalam rangkaian upacara rambu
solo’. Nilai apa sebetulnya yang mendasari upacara ini pada mulanya? Jawaban
atas pertanyaan ini diketemukan dalam salah satu kuplet Ossoran Badong To Dirapai’ (Nyanyian Tradisional dalam Upacara
Kematian Tingkat Tertinggi). Ossoran
Badong To Dirapai’ berisi riwayat hidup almarhum sejak dilahirkan,
bertumbuh menjadi dewasa, berkarya dalam masyarakat, menjadi tua, meninggal
lalu dilangsungkan upacara kematiannya; kemudian ia berangkat menuju Puya dan
dari sana beralih ke Barat, di mana ia naik ke dunia atas, menjadi dewa (mendeata, membali puang). Pada babak
upacara kematiannya, salah satu kuplet berbunyi sebagai berikut (dikutip dlm.
Liku-Ada’, 2010:162):
Ungaraga
leppo’-leppo’, (Ia
mendirikan sebuah panggung kecil)
Sola to lempo bumarran, (Sebuah aram-aram berbau
amis)
Nanai mantaa langsa’, (Tempat ia membagi-bagikan langsat)
Ussearan buakayu. (Menebarkan buah-buahan.)
Sandami ka’panan balang, (Maka semua beroleh daging
bagian paru-paru)
Sola usuk penamile. (Dan juga rusuk kerbau jantan besar.)
Bala’kaan atau lempo bumarran adalah panggung yang didirikan pada upacara kematian,
tempat membagi-bagikan daging (mantaa).
Kuplet di atas menandaskan bahwa orang mati itu sendirilah (secara figuratif)
yang mendirikan bala’kaan itu, tempat
ia membagi-bagikan daging kerbau yang dikorbankan pada upacara kematiannya itu.
Semua pihak dalam kampung memperoleh bagian. Dulu kerbau-kerbau yang
dikorbankan pada upacara kematian seseorang dapat dipandang sebagai miliknya
sendiri. Karena kalau anak-anaknya mengorbankan kerbau atau babi, maka itulah
yang akan menjadi dasar pembagian warisan di kalangan anak-anak almarhum itu.
Jadi memang daging kerbau yang dibagi-bagikan dari bala’kaan itu adalah milik orang mati itu sendiri. Orang Toraja
dulu bekerja keras selama hidup, berupaya mengumpulkan harta. Untuk apa? Untuk
dibagi-bagikan pada ritus mantaa di
upacara kematiannya! Dengan demikian tujuan orang Toraja tempo dulu
mengumpulkan harta bukanlah untuk dimiliki dan dinikmati sendiri, melainkan
untuk dibagi-bagikan pada upacara kematiannya kelak kepada mereka yang masih
hidup, sebelum ia sendiri berangkat ke dunia akhirat. Jadi nilai luhur yang
mendasari ritus mantaa asli ialah
kerelaan berbagi milik, berbagi kehidupan, semangat kebersamaan, solidaritas
komuniter dan persatuan kekeluargaan.
Tetapi
apa yang terjadi sekarang? Di banyak tempat upacara mantaa justru telah menjadi wadah ungkapan perpecahan. Antropolog
Amerika, Toby Alice Volkman, yang mengadakan penelitian lapangan di wilayah
Sesean pada akhir 1970-an menulis:
“Orang
Toraja seringkali menyebut kejadian-kejadian ini ‘politik daging’. Politik semacam ini berpuncak pada apa yang
barangkali dapat juga disebut ‘politik
perpecahan’. Karena jika, sebagai antropolog, kita cenderung mencari harmoni atau komunitas pada wilayah
ritual, upacara kematian Toraja
tampaknya, justru sebaliknya, merupakan arena perpecahan. Ini tidak untuk mengatakan bahwa ini
‘penyimpangan fungsi’, atau bahwa masyarakat
Toraja sedang menuju kehancuran -- tetapi lebih bahwa dalam arti tertentu premis dasar masyarakat
tersebut (Toraja) bukanlah harmoni, melainkan
perbedaan. Kehidupan sosial di Toraja…boleh jadi berkaitan dengan permusuhan, tetapi suatu bentuk khusus
permusuhan yang didasarkan pada
perbedaan-perbedaan antar individu dan antar-kelompok. Orang tidak diciptakan sederajat di Toraja, dan upacara kematian,
sebagiannya, ada untuk
mempertontonkan secara tepat betapa mereka berbeda
(satu dari yang lain)” (Volkman,
1981:141).
Kembali
kita diperhadapkan pada pertanyaan, unsur mana dari budaya kita yang ingin kita
lestarikan, nilai dasar aslinya atau wujud ungkapannya? Saya yakin kita semua
akan menjawab, NILAI DASAR ASLINYA! Kalau begitu mengapa kita masih enggan
mengupayakan inovasi-inovasi pada bentuk ungkapannya? Almarhum Ne’ Karoro’ dan
anak-cucunya, dan sebelum itu sejumlah tokoh Toraja lain, telah memberi contoh
dalam arah itu. Upacara mantaa tetap
dipertahankan, tetapi tidak lagi pertama-tama dalam wujud daging (semua hewan
korban disembelih), melainkan membagikan kerbau-kerbau yang masih hidup, yang
selanjutnya dapat dijual dan dananya untuk pembangunan kampung halaman. Dan
apabila gerakan inovasi itu berjalan baik, lama-kelamaan upacara kematian akan
menemukan bentuknya yang lebih sederhana dan lebih singkat. Dan dengan begitu
masalah serius kesehatan masyarakat dan terbuangnya sekian banyak waktu untuk
upacara kematian dapat diatasi.
Masih
satu catatan penting perlu ditambahkan. Semua menyadari bahwa bidang pariwisata
merupakan salah satu tumpuan utama yang menjanjikan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan ekonomi masyarakat Toraja. Tetapi pancaran dan genangan darah
serta gelimpangan bangkai-bangkai kerbau yang disembelih di depan umum pada
upacara kematian, pada umumnya sangat mengerikan melihatnya bagi orang-orang
dari luar Toraja. Dan jangan dilupakan bahwa di negara-negara maju kelompok-kelompk
pencinta binatang semakin bertambah kuat. Tidak mustahil bahwa suatu waktu ada
dari mereka yang berkunjung ke Toraja dan menyaksikan hal itu, lalu pulang ke
negerinya dan mulai mengadakan kampanye anti kunjungan ke Toraja. Kalau itu
terjadi, sia-sialah segala macam promosi pariwisata Toraja, termasuk program ‘Lovely December’ dari Gubernur Sulsel.
Maka di sini pun perlu ada upaya inovatif.
Jiwa
religius asli (religiositas; bdk.
Sudhiarsa, 2009), yang meredup dan ungkapan penghayatannya dalam ritual rambu tuka’ (khususnya aluk pare dan aluk banua tongkonan) yang hilang akibat kebijakan yang diambil
Komisi Adat Zending pada
dekade-dekade pertama kehadiran Kekristenan di Toraja, perlu dihidupkan
kembali, tetapi kini dengan isi dan tata perayaan kristiani. Dalam hal ini
semestinya Gereja Katolik lebih siap. Karena berbeda dengan corak dogmatis
Kalvinis, corak Katolik yang menganut prinsip “Gratia non destruit, elevat autem naturam” (“Rahmat tidak
menghancurkan kodrat, tetapi mengangkatnya”), mempunyai sikap yang lebih
terbuka terhadap budaya dan agama-agama non-Kristiani. Jika upaya ini berjalan
dan berhasil baik, maka yang akan tercipta di kalangan umat Kristiani Toraja
ialah apa yang disebut Karl Rahner, SJ, “mistisisme hidup sehari-hari”, seperti
yang sudah dikemukakan di atas. Apabila umat Kristiani Toraja dapat mencapai
status ini, mereka akan mampu menyaring dan menolak unsur-unsur negatif era
globalisasi, yang tentu akan lebih gencar merasuk apabila upaya membangkitkan
kembali pariwisata Toraja berhasil.
Selanjutnya,
gerakan inovasi budaya Toraja tak akan berhasil apabila hanya melibatkan
Gereja-Gereja. Keberhasilan gerakan ini memprasyaratkan keikutsertaan seluruh
komponen masyarakat. Terutama keterlibatan lembaga publik, baik eksekutif
(Pemda) maupun legislatif (DPRD), akan sangat menentukan. Sebab lembaga publik
ini memiliki wewenang regulatip yang memungkinkan pengaturan dan koordinasi
gerakan. Pemda dan DPRD harus lebih aktif dan kreatif dalam menemukan dan
mengoperasionalkan pola-pola inovatif budaya Toraja. Kalau adat mantunu berhasil direformasi, Pemda tidak perlu khawatir kehilangan
sumber utama PAD, yaitu pajak ‘potong hewan’. Sebab pajak yang sama tetap dapat
diberlakukan pada hewan persembahan yang disumbangkan dalam keadaan hidup untuk
pembangunan kampung. Hanya namanya saja yang bergeser, dari pajak ‘potong
hewan’ ke pajak ‘hewan persembahan’.
Lembaga-lembaga
publik itu juga harus aktif berupaya mendidik masyarakat menjadi sadar
pariwisata. Mereka juga harus kreatif menciptakan peluang-peluang yang menarik
wisatawan datang ke Toraja dan membuat mereka betah tinggal lebih lama di
Toraja. Salah satu keluhan yang seringkali terdengar ialah ini: Pada siang hari
mereka dapat berkeliling menikmati keindahan alam, mengunjungi obyek-obyek wisata,
menyaksikan upacara rambu solo’ atau rambu tuka’. Tetapi pada malam hari
mereka pada umumnya tidak tahu kegiatan apa yang dapat dibuat. Jadi perlu
dipersiapkan atraksi-atraksi budaya yang bermutu dan menarik untuk
dipertontonkan pada malam hari. Misalnya membuat sendratari atau drama dari
mitos-mitos asli Toraja. Kakau epos Bugis ‘I
La Galigo’ telah di-drama-kan dan telah dipentaskan di sejumlah kota
mancanegara, tentu tidak akan kalah menarik bila mitos dalam Passomba Tedong dijadikan drama yang
dapat dipentaskan.
Akhirnya,
kita tiba secara khusus pada perantau Toraja. Tetapi mengenai komponen
ini tak perlu ada pembicaraan panjang di sini. Perhatian, pemikiran, kegiatan,
kecintaan mereka pada kampung halaman sungguh luar biasa, sebagaimana terlihat
memuncak pada kegiatan akbar ‘Toraya
Mamali’ 2006’. Tinggallah pertanyaan, maukah para perantau Toraja
sungguh-sungguh menggantikan obsesi mantunu
dengan obsesi membangun kampung halaman? Kalau dana yang dikirim para perantau
ke Toraja, yang konon bermiliar-miliar rupiah setiap bulan, tidak digunakan
untuk adat mantunu melainkan untuk
membangun masyarakat Toraja dalam tiga bidang fokus dari ‘Toraya Mamali’, pendidikan, pariwisata, dan pertanian, maka dalam
waktu tidak terlalu lama Toraja akan mengalami kemajuan!
0 komentar:
Posting Komentar