(Oleh : Christian Tanduk)
Tulisan ini merupakan suatu analisis sosial masyarakat Toraja yang telah mengalami perubahan dalam bingkai budaya nenek moyang, agama dan modenitas. Penulis menyadari bahwa untuk membahas hal ini secara komprehensif, dibutuhkan penelitian yang komprehensif pula. Sementara itu, analisis yang penulis coba paparkan di sini didasarkan pada pengalaman empiris penulis – yang dibesarkan, belajar, dan melayani (sebagai Pendeta) dalam komunitas etnis Toraja – yang kemudian dirangsang oleh diskusi dalam kuliah “Agama dan Masyarakat”. Jadi selayaknya tulisan ini diberi label: “sebuah catatan awal”.
Dalam upaya memahami masyarakat Toraja ini, penulis mengelaborasi metode Bernard Adeney-Risakotta dalam kajian tentang model masyarakat Indonesia yang melihat modernitas, agama dan budaya nenek moyang sebagai tiga jaringan makna . Namun mengingat implikasi model ini sangat luas, maka penulis mempersempitnya dengan persoalan pokok: bagaimana ketiga jaringan makna ini membentuk etos dan world view masyarakat Toraja. Namun dalam pembahasannya penulis menukarkan posisi jaringan itu menjadi budaya nenek moyang, agama dan modernitas. Pembahasan seperti ini mengandaikan kronologi perubahan sosial masyarakat Toraja. Pertama-tama, budaya nenek moyanglah yang mengakar dan membentuk masyarakat Toraja. Setelah itu menyusul kehadiran agama dan merebaknya pengaruh modernitas. Penulis berusaha menghindarkan pembahasan ini dari unsur historis. Namun dalam tulisan ini hal tersebut bisa saja muncul di sana sini. Sebab menurut penulis, untuk menganalisis kondisi masyarakat saat ini dalam ketiga jaringan makna di atas, mau tidak mau kita harus sejenak menoleh ke belakang.
Masyarakat Toraja
Sebelum lebih jauh dalam pembahasan ini, penulis merasa perlu untuk sedikit menjelaskan apa yang penulis maksudkan dengan masyarakat Toraja. Istilah ini penulis pakai untuk membedakan kelompok masyarakat etnis Toraja yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja dengan yang hidup sebagai perantauan di luar Tana Toraja. Pembedaan ini dilakukan mengingat adanya perbedaan pola pikir yang cukup mendasar antara orang Toraja yang tinggal di Toraja dan yang tinggal diluar Toraja dalam menanggapi masalah budaya nenek moyang, agama dan modernitas, serta pengaruhnya terhadap perilaku sosial mereka. Bagi mereka yang tinggal diluar Tana Toraja, perilaku sosial mereka cukup dipengaruhi oleh motifasi mereka meninggalkan Tana Toraja yaitu pekerjaan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar orang Toraja yang merantau, hidup di daerah dalam konteks masyarakat yang majemuk, baik secara etnis maupun agama. Berbeda dengan komunitas yang tinggal di daerah Tana Toraja yang cenderung homogen.
Makna Budaya Nenek Moyang Bagi Masyarakat Toraja
Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah : Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah. Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya.
Jika Durkheim membedakan antara yang sakral dan profan, maka hal itu tidak berlaku bagi Aluk to Dolo. Tidak ada yang profan. Semua aktifitas manusia memiliki nilai sakral mulai dari persoalan tidur sampai membangun rumah. Demikian halnya keberadaan manusia dari lahir sampai mati, aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol yang berhubungan dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia Toraja. Aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol itu menghubungkan manusia secara khas dengan dengan tatanan faktual, baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan inilah yang membentuk way of thinking dan way of living Toraja dan menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya.
Paradigma yang dipakai Geertz mengenai sintesa etos dan pandangan dunia daalam sebuah kebudayaan sangat membantu kita untuk memahami makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja . Simbol-simbol dan motifasi apapun yang dicerminkan pola budaya ini sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang tatanan faktual, dimana manusia, alam dan yang ilahi terikat dalam sesuatu yang serba sakral. Jika kemudian Geertz mendefinisikan agama dari paradigma ini, rasanya definisi yang dihasilkan Geertz tidak berbeda dengan makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja.
Budaya Nenek Moyang Dalam Perjumpaannya Dengan Agama Kristen
Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah “Kristus melawan Kebudayaan”.
Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos dan pandangan dunia yang berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun.
Dalam hal ini penulis melihat bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman. Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis. Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini:
a. Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: “Itu tidak sesuai dengan firman Tuhan”; “Inilah kehendak Yesus”. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : ”Menurut orang tua….”. (Maksudnya nenek moyang), “Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”.. Dengan ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : “Ah, kita kan sudah Kristen”.
Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi, agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan. Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya) ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama. Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk. Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.
b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas); tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang awam (to buda).
Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada. Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya, fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.
Hal ini juga berhubungan dengan asas kepemimpinan bottom up dan dan top down. Dalam konteks gereja teori yang berlaku adalah asas bottom up yang demokratis. Sedangkan dalam kontek kehidupan sehari-hari asas top down-lah yang berlaku. Jika demikian, masyarakat – entah sadar atau tidak – sedang dibentuk dalam dua teori kepemimpinan yang bertolak belakang itu. Implikasinya bisa menjadi bumerang bagi wibawa gereja atau wibawa adat ketika terjadi persilangan. Maksudnya asas bottom up mau dipaksakan dalam komunitas budaya, dan asas top down hendak dipaksakan dalam komunitas agama. Pemaksaan itu bisa saja dilakukan para pemuka adat atau warga biasa dalam gereja yang tidak nyaman dengan asas botom up. Atau oleh para pemuka agama yang merasa tidak nyaman dengan asas top down dalam masyarakat. Kita sudah bisa menebak akibatnnya : konflik dalam gereja atau konflik sosial dalam masyarakat, atau konflik antara institusi gereja dan institusi masyarakat.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kondisi sosial masyarakat Toraja yang terus menerus berubah saat ini senantiasa berada dalam tarik menarik antara budaya nenek moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan “pakaian” Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi di dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka “pakaian” Kristennya di pakai.
Masyarakat Toraja dan Pola Pikir Modernitas: Implikasi ketegangan antara budaya dan agama
Jika kembali kepada paradigma budaya Geertz, masyarakat Toraja sekarang ini – entah sadar atau tidak, tetapi kemungkinan besar tidak disadari – sedang mengalami kebingungan pembentukan etos dan worl view. Antara dogma agama dan budaya nenek moyang. Antara keduanya ada tarik menarik, bahkan pertentangan. Gejala sosial yang dilematis ini menjadikan situasi masyarakat Toraja saat ini cukup rawan ketika diperhadapkan dengan modernitas dengan berbagai karakteristiknya.
Sejauh kita memahami modernitas sebagai sebagai keterikatan kepada rasionalitas dalam semua sisi kehidupan, kita tidak dapat sepenuhnya mengklaim bahwa modernitas sama sekali belum menyentuh masyarakat Toraja pada saat agama Kristen mulai berkembang. Bagaimanapun juga, doktrin yang dibawa para zending ke Toraja tidak lepas dari pergulatan modernitas di Barat (Belanda). Bahkan adanya tarik menarik antara pandangan dunia budaya dan pandangan dunia agama bisa jadi disebabkan pengaruh pola pikir modern.
Tetapi jika kita mencoba memfokuskannya pada etos dan pandangan dunia yang ditawarkan laju modernitas, maka akan segera terlihat ketidaksiapan mental masyarakat Toraja menghadapi fenomena sosial yang ditimbulkan pola pikir atau kita sebut saja kebudayaan modern. Ketidaksiapan itu bukan berarti penolakan, tetapi penerimaan tanpa kritik. Gejala ini sudah menjadi fenomena yang cukup umum dalam masyarakat Toraja sekarang ini. Tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama menyebabkan etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja terjebak dalam dualisme dan dikotomi. Keadaan ini menjadi cela yang cukup besar, yang memungkinkan kebudayaan modern mulai membentuk masyarakat tanpa ada perlawanan atau kritik yang berarti dari masyarakat, baik dengan dasar budaya maupun agama. Para pemerhati kebudayaan daerah maupun gairah pelayanan gereja sebenarnya cukup menyadari bahaya ini dan melakukan berbagai upaya pembinaan. Tetapi etos dan world view yang terlanjur tidak konsisten menyebabkan masyarakat tidak cukup kuat untuk mengajukan kritik terhadap kebudayaan modern serta melakukan kontrol terhadap infiltrasi kebudayaan modern. Akibatnya budaya modern mulai membentuk etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja.
Salah satu contoh adalah individualisme. Karakter ini mulai menjadi warna masyarakat Toraja. Padahal karakter demikian sangat bertolak belakang dengan semangat kebersamaan orang Toraja yang terkenal dengan semboyan misa’ kada di potuo pantan kada di po mate (artinya kurang lebih sama dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh). Ironisnya, individualisme itu bisa tercermin dalam sebuah aktifitas yang berlatar belakang budaya.
Penulis mencontohkan fenomena ini dengan menyorot salah satu upacara adat Toraja yaitu upacara pemakaman (rambu solo). Dari luar kita bisa melihat adanya nilai budaya yang besar dalam upacara ini. Ada pondok-pondok yang dirikan secara gotong royong. Hewan korban (kerbau dan babi) disiapkan untuk menjamu tetamu yang datang sekaligus simbol penghargaan kepada si mati . Setelah itu sanak famili dan kenalan mengungkapkan tanda dukacita melalui kehadiran dalam upacara itu sekaligus membawa babi atau kerbau sebagai tanda simpati. Pada akhir pesta (yang biasanya 3 sampai 4 hari), ada juga hewan korban yang disisihkan untuk disumbangkan kepada gereja.
Tetapi jika kita mencermati motifasi dibalik persiapan dan pengorbanan itu, kita akan menemukan bahwa unsur gengsi atau prestise sangat mengemuka. Demi martabat di mata masyarakat, keluarga si mati akan mempersiapkan pesta dengan hewan korban sebanyak mungkin. Walaupun merupakan sebuah pemborosan yang penting harga diri akan terjaga. Sementara itu, sumbangan dukacita (dalam bentuk hewan korban) yang dibawa famili yang lain atau kenalan, tidak lagi dianggap sebagai tanda simpati, tetapi hutang. Jika sekali waktu kenalan tersebut menggelar upacara yang sama, maka mau tidak mau hutang itu harus dibayar. Jika tidak, harga diri menjadi taruhan. Sumbangan ke Gereja pun tidak lepas dari masalah harga diri. Menyumbang banyak artinya terhormat, prestise terjaga. Tidak menyumbang, memalukan. Dalam hal ini individualistis berjalan bersama dengan materialisme. Sekiranya Ferdinand Toennies menganalisis kedaan ini maka pembedaan Gemeinshaft dan Gesselschaft dalam teorinya akan mengalami kerancuan. Masalahnya karakteristik Gesselschaft yang diidentifikasi Toennies justru sering tercermin dalam sebuah konteks Gemeinshaft di Toraja. Kita bisa sederhanakan fenomena ini dengan ungkapan “modenitas yang berpakaian tradisional”.
Dengan semua kenyataan ini, indikasi keterasingan atau ketercabutan masyarakat Toraja dari akar budayanya mulai terlihat. Tetapi saya sendiri berharap bahwa teori-Hegel tentang keterasingan masyarakat modern dari lingkungannya, atau teori kurungan besi Weber tidak akan pernah terjadi dalam konteks masyarakat di Toraja.
Kesimpulan dan Penutup
Sebagai kesimpulan, penulis menyimpulkan pembahasan ini dengan mencoba menggambarkan kondisi sosial masyarakat Toraja saat ini dengan dua illustrasi berikut:
Pranata sosial dan struktur sosial masyarakat Toraja sedang (bahkan sudah lama) berada dalam tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama. Akibatnya Etos dan world view masyarakat berada dalam dualisme dan dikotomi. Disadari atau tidak, masyarakat sedang berada dalam kebingungan merumuskan jati dirinya.
Keadaan itu menyebabkan infiltrasi kebudayaan modern berlangsung tanpa kritik dan koreksi dan budaya atau agama. Akibatnya, etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja mulai dibentuk oleh karakteristik budaya modern, tetapi ironisnya sering ditampilkan dalam kemasan budaya atau agama.
Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pemerhati budaya dan pemuka agama, khususnya agama Kristen, termasuk penulis.
0 komentar:
Posting Komentar