FOTO

FOTO

Laman

Jumat, 24 Agustus 2012

BATUTUMONGA






Berlokasi di daerah Sesean yang beriklim dingin, sekitar 1300 meter di atas permukaan laut. Di daerah ini terdapat 56 menhir batu dalam sebuah lingkaran dengan lima pohon kayu ditengahnya. Kebanyakan dari batu menhir itu berukuran dua sampai tiga meter tingginya. Pemandangan yang sangat mempesona di atas Rantepao dan lembah disekitarnya, dapat dilihat dari tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi.

BORI

Obyek wisata utama adalah rante (tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan buah menhir / megalit), dalam bahasa Toraja disebut simbuang batu. Seratus dua batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama. Penyebab perbedaan adalah situasi dan kondisi pada saat pembuatan / pengambilan batu, misalnya; masalah waktu, kemampuan biaya dan situasi pada masa kemasyarakatan. Megalit / simbuang batu hanya diadakan bila seorang pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya dilaksanakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor). Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan pada upacara Pemakaman Ne’Ramba’ dimana 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua simbuang batu.

Kamis, 23 Agustus 2012

Londe Toraya


Londe adalah pantun toraja yang terungkap dengan baik dan elegan. Londe dapat tercipta dari perasaan dan pemikiran tentang sesuatu. Kalimat dalam londe dapat bermakna nasehat, curahan hati dan lelucon.Sesuatu yang sulit diungkapkan pada seseorang kadang terungkap lewat londe.

Ukiran Toraja





















Rabu, 22 Agustus 2012

Daerah Adat di Toraja



  1. Kesu' (Panta’nakan Lolo),Pusat Penyebaran Aluk Sanda Pitunna setelah daerah Tallulembangna memakai Aluk Sanda Saratu’ yang dibawa oleh Tamboro Langi’. Pabane’, anak dari Tangdilino Banua Puan menikah dengan Ambun di Kesu’ anak dari Puangri Kesu’.

To Manurun dan To Bu’tu Ri Uai: Nenek Moyang To Manurun

Di Tana Toraja, ide To Manurun, mitos yang menceritakan seseorang yang turun dari langit ke puncak-puncak gunung dan menjadi para penguasa lokal, Toraja Tomanurun selalu dipasangkan dengan satu pasangan dengan sama hal-hal yang gaib, seorang wanita yang bangkit ke luar dari suatu kolam/sungai. Kesu mengklaim To Manurun Manurun Di Langi’ adalah nenek moyang yang paling penting, sementara di Tallu Lembangna, Tamboro Langi' (Toma’ Banua ditoke’, Toma’ Tondok dianginni) lebih penting. Bagaimanapun bangsawan-bangsawan dari kedua area ini telah mengklaim bahwa Tomanurun mereka adalah pusat pemerintahan. Mereka tidak sependapat jika ada yang mengatakan bahwa To Manurun berasal dari bagian barat (Ullin).

ASAL MUASAL BERDIRINYA TONDOK LEPONGAN BULAN,TANA MATARI ALLO.


Silsilah dimulai dari Puang Tamboro Langi’Tomanurung Pertama yang menurut Hikayat turun dari lagit di puncak Gunung Kandora (Kecamatan Mengkendek) pada pertengahan abad 4
Puang Tamboro Langi’ inilah yang merupakan raja petama di Kalindobulanan Lepongan Bulan dan sekaligus merupakan leluhur raja-raja di Kerajaan Lepongan Bulan(Tana Toraja)pada khususnya dan Kerajaan Tallu Bocco yang pertama (Toraja,Luwu dan Gowa) pada umumnya
1. Puang Tamboro Langi. Bergelar Puang Tomatasak yang pertama di Kalindobulanan Lepongan Bulan, Kawin dengan Puang Sanda Bilik dari Sungai Sa’dan di Saepa Deata, melahirkan 4 orang Putera
A. Puang Papai Langi’ di Gasing
B. Puang Tumambuli Buntu di Napo
C. Puang Sanda Boro di Batu Borrong (Kaki Gunung Sinaji)
D. Puang Messok di Rano Makale
2. A. Puang Papai Langi’ menggantikan ayahnya sebagai Puang Tomatasak II, kawin dengan 2 orang Putri, masing-masing bernama :
A.1. Puang Allo anginan, berasal dari air kolam di Gasing,melahirkan 4 orang anak
a. Puang Paetong di Otin Mengkendek
b. Puang Toding di Banua lando Makale
c. Puang Landek di Su’pi Sangalla’
d. Puang Panggeso di Tiromanda Makale
A.2. Tumba’ Sarambunna dari keturunan tomakaka di Banua Puan, melahirkan 8 anak :
a. Sarambunna di Tinoring Mengkendek
b.Tomemanuk di Bala Mengkendek
c. La’la di Batu Rondon Mengkendek
d. Samang di Tengan Mengkendek
e Yarra’ Matua di Palipu’ Mengkendek
f. Tintiri Buntu di Sillanan Mengkendek
g. Bangke’ Barani di Botang Makale
h. Bombiri Lemo di Pa’buaran Makale
B. Puang Tumambuli Buntu diangkat sebagai Puang Tomatasak Muda di Kalindobulanan di Ulunna Lepongan Bulan, kawin dengan 2 orang Putri,masing-masing bernama:
B.1. Puang Bo’ngga ri Napo,berasal dari batu di Napo, melahirkan 4 orang anak
a. Puang Saredadi di Karua
b. Puang Emabtu di Sesean
c. Puang Ampang di Sa’dan
d. Puang Lambe’susu di Napo
B.2. Puang Manaek di Nonongan ,melahirkan 9 anak :
a. Puang Palaga di tarongko Makale
b. Puang Marimbun di Bungin Makale
c. Puang Rambu Langi’ di Pangi Makale
d. Puang Tokondok di Buakayu
e Puang Tinti di Lambun Tapparan,Salluputti
f. Puang Paladan di Siguntu’Nonongan
g. Puang Pata’ba’di Parakan
h. Puang Petimba Bulaan di Kaero
C. Puang Sanda Boro diangkat sebagai Puang Tomatasak Muda di Kalindobulanan di Ingkokna Lepongan Bulan, kawin dengan seorang Putri, bernama:
C.1. Puang Bu’tui Pattung, berasal dari Batu Borrong, melahirkan 4 orang anak
a. Puang Palandongan di di Marintang
b. Puang Rombe Londong di Tabang
c. Puang Mate Malolo (meninggal saat masih gadis)
d. Puang Lakipadada
Mengembara mencari ilmu untuk hidup abadi sampai akhirnya menikah dengan Putri Gowa yang melahirkan:
Puang Patta La Bantan (Toraja)
Puang Patta La Bunga (Luwu)
Puang Patta LaMerang (Gowa)
D. Puang Messok diangkat sebagai Puang Tomatasak Muda di Kalindobulanan Tanganna Lepongan Bulan, kawin dengan seorang Putri, bernama:
D.1. Puang Timban, di rano Makale, melahirkan seorang anak
a. Puang Payak Allo bergelar Datu Matampu’,menggantikan Pamannya Puang Papai Langi’, sebagai Puang Tomatasak III di Kalindo Bulanan Lepongan Bulan di Rano

3. Puang Payak Allo sebagai Puang Tomatasak III kawin dengan Puang Tumba’ Paramak dari Makale dan melahirkan seorang Putra bernama Puang Laso’ Paramak
Pada masa ini terjadilah Perang Saudara Pertama di Kalindo bulanan Lepongan Bulan,antara Puang Paramak Datu’ Matampu dengan Puang Rambu Langi’ dari Pangi

4. Puang Patta La Bantan anak dari Puang Lakipadada kembali dari Gowa akhirnya dilantik sebagai Puang Tomatasak IV di Kalindo bulanan Lepongan Bulan di Kaero,untuk menenangkan saudara-saudaranya yang berperang di kampung
Puang Patta La Bantan inilah yang membangun Kaero sebagai Tongkonan Layuk di Kalindobulanan Lepongan Bulan.
Menikah dengan Petimba Bulaan dari Nonongan dan melahirkan putera bernama Puang Timban Boro (Puang Tomtasak V) 

basse-tallu-lembangna
Basse Tallu Lembangna
Silsilah Lakipadada…
5. Puang Timban Boro
Menggantikan ayahnya Puang Patta La Bantan sebagai Puang tomatasak V di Kalindo bulanan Kaero, kawin   dengan seorang putri bernama Puang Pasuen dari Tondon Makale yang melahirkan Putra bernama Puang Kapu’ Boro
6. Puang Kapu’ Boro
Menggantikan ayahnya Puang Puang Timban Boro sebagai Puang tomatasak VI di Kalindo bulanan Kaero, kawin   dengan seorang putri bernama Puang Dipa’pitu dari Kombong Bura yang melahirkan Putra bernama Puang Tangmarakia
7. Puang Tangmarakia
Menggantikan ayahnya Puang Kapu’ Boro sebagai Puang tomatasak VII di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’paseno Langi dari Buntu Kaero yang melahirkan Putra bernama Puang Paseno langi’
8. Puang Paseno langi’
Menggantikan ayahnya Puang Tangmarakia sebagai Puang tomatasak VIII di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Tangkokean dari Otin Mangkendek yang melahirkan Putra bernama Puang Tanggulungan
9. Puang Tanggulungan
Menggantikan ayahnya Paseno langi’ sebagai Puang tomatasak IX di Kalindo bulanan Kaero, kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Riu’ Datu dari Batualu yang melahirkan Putra bernama Puang Sampa Raya
10. Puang Sampa Raya
Menggantikan ayahnya Puang Tanggulungan sebagai Puang tomatasak X di Kalindo bulanan Kaero, kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Bubun Datu dari Tondon, Makale yang melahirkan Putra bernama Puang Galugu


11. Puang Galugu 
Menggantikan ayahnya Puang Sampa Raya sebagai Puang tomatasak XI di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Lanjang dari Tondon, Makale yang melahirkan 2 orang Putra yaitu:
       11.1. Puang Lanjang Dolo 
                kawin dengan Puang Tumba’Kaise’ dari Butualu melahirkan 5 orang anak
11.1.a Puang Bullu Matua
11.1.b Puang Pasolang Boro
11.1.c Puang Tandi
11.1.d Puang Bala Lelen
11.1.e Puang Pagunturan
        11.2. Puang Pabuaran Dolo
                kawin dengan Puang Tumba’Kaise’ dari Butualu melahirkan 5 orang anak
11.2.a Puang Raya Sampin
11.2.b Puang Tampang
11.2.c Puang Tangmarak
12. Puang Pabuaran Dolo
Menggantikan ayahnya Puang Galugu sebagai Puang tomatasak XII di Kalindo bulanan Kaero,disini tidak ada catatan mengapa Pengganti Puang Galugu adalah Puang Pabuaran Dolo bukan Anak tertuanya Puang Lanjang Dolo.
13. Puang Raya Sampin
 Menggantikan ayahnya Puang Pabuaran Dolo sebagai Puang tomatasak XIII di Kalindo bulanan Kaero
Catatan: Pada zaman ini terjadi Perang saudara ke II, antara Puang Raya Sampin dengan Puang Bullu Matua(anak dari Puang Lanjang Dolo)

14. Puang Bullu Matua
Dalam perang saudara kedua di Kalindobulanan tsb dimenangkan oleh Puang Bullu Matua dan diangkat menjadi Puang Tomatasak XIV di Kalindobulanan Lepongan Bulan, Kawin dengan Puang Bitti’Langi’ dari Tarongko Makale yang melahirkan tiga orang anak,Yaitu
14.1. Puang Bitti’Langi
Kawin dengan Puang Tumba’ Pakolean dari Pangi dan melahirkan
14.1.a Puang Tiang Langi’
14.2. Puang Kanna
Kawin dengan Puang Puling dari Otin Mangkendek dan melahirkan
14.2.a Puang Palodan
14.2.b Puang Kombo Langi’
14.3. Puang Makaun Allo (gugur dalam perang saudara)
BASSE TALLU LEMBANGNA
Setelah ketiga cucu Puang Bullu Matua sudah dewasa,beliau membagi Kerajaan Lepongan Bulan menjadi tiga Kerajaan diatas suatu landasan sumpah yang disebut Basse Tallu Lembangna yaitu Makale.Sangalla’ dan Mengkendek
Walaupun ketiga kerajaan ini berkuasa penuh memerintah dan mengatur wilayahnya masing-masing yang disebut Puang Basse Kakanna Makale, Puang basse Tanganna Sangalla’ dan Puang Basse Adinna Mengkendek, namun demikian secara simbolis masih ada Puang Tomatasak Kalindobulanan Lepongan Bulan yang menurut sejarah selalu dijabat oleh Puang Basse Tanganna Sangalla’ selama 13 periode mulai dari Puang Palodang sampai Puang Laso’  Rinding (Puang Sangalla’), salah satu alasannya karena Tongkonan Layuk Kaero yang merupakan Pusat (Keraton/Istana) Lepongan Bulan dibangun oleh Puang Patta La Bantan berada di wilayah Sangalla’
Basse Kakanna Makale
1. Puang Tiang Langi’  sebagai Puang Basse Kakanna Makale I
dengan gelaran Sullena Puang Bullu Matua lan padang ri Makale, solonna Puang Tiang Langi’ te Lipu Basse Kakanna, kawin dengan Puang Kobong Bulaan dari Mangasi Mengkendek, melahirkan seorang putera bernama Puang Todierong

2. Puang Todierong  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale II
Menggantikan ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale II, kawin dengan Puang Tumba’ Palonga di Tondon Makale, melahirkan seorang putra bernama Puang Palonga’
Catatan:
Pada masa ini dibangun persekutuan antara tiga daerah Kapuangan yakni Puang Todierong dari Makale,Puang Tolayuk dari Baroko dan Puang Tokalu’ dari Enrekang. Basse Persekutuan ini dikenal dalam sejarah dengan ucapan:
“Basse sang bembe’manik sangluse’giring-giring”
Basse  persekutuan persaudaraan antara ketiga daerah Kapuangan ini bertujuan memelihara persatuan dan kesatuan dalam wujud kekeluargaan yang akan nampak terutama dalam Upacara Rambu Solo’
Basse ini diucapkan dalam sasta Toraja tinggi sebagai berikut:
Bandanmi pole’ basse titanan tallu
Tulangda’mi pandan dipopemamba galugu
Tirindu batu lalikan, kumua………
Ianna masaki ulunna Makale
Untintimi gandang bulaana tu Tolayuk lan di Baroko,
Napasa’ding tu Endekan
Susi duka kemasaki ulunna Endekan
Undedekmi gandang bulaanna to Tolayuk lan di Baroko,
Napasa’ding tu Makale
Realisasi dari Basse Persaudaraan ini tampak dalam sejarah ialah ketika Upacara Pemakaman Puang Tarongko di Makale, maka raja-raja dari Pitu Masserenrempulu ( Enrekang, Maluw’, Buntubatu, Kassa’,Alia’ ,Batulappa’ dan Maiwa) datang berbelasungkawa ke Makale, Demikian pula waktu meninggalnya Puang Enrekang ( Pancai Tana Bunga Walie) semua Puang-Puang dari Tallu Lembangna Makale, Sangalla’ dan Mengkendek turun berbelasungkawa ke Enrekang.
3. Puang Polanga  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale III
kawin dengan seorang Putri Salle Bayu dari  Tarongko Makale, melahirkan seorang putra bernama Puang Pate’dangan
4. Puang Pate’dangan  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale IV
kawin dengan seorang Putri Puang Balun Manik dari Awa’ Tarongko Makale, melahirkan seorang putra bernama Puang Sugi
5. Puang Sugi’  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale V
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Payuk di Makale, melahirkan 2 orang putra yaitu
    5.1 Puang Sui’ Lalong
    5.2 Puang Payuk diangkat sebagai Tunduk Tata’ na Basse Kakanna lembang di Makale ketika pecah perang antara To Pada Tindo di Lepongan Bulan melawan orang-orang Bone sebagai tentara Pakila’Allo yang mengadakan penindasan terhadap orang-orang Kalindo Bulananna lepongan Bulan.
Kawin dengan seorang  putri bernama Tumba’ Parukka di Bulo Makale melahirkan dua orang Putera yaitu:
          5.2.a Puang Parukka
          5.2.b Puang Lolon
6. Puang Sui’ Lalong  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale VI
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Parapak dari Kaero,Sangalla’,melahirkan seorang putra bernama Puang Parapa’
7. Puang Parapa’  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale VII
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Lolo angin di Tarongko Makale,melahirkan seorang putra bernama Puang Lolo angin
8. Puang Lolo Angin  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale VIII
kawin dengan seorang Putri Puang Balun Manik dari Awa’ Tarongko Makale,melahirkan 2 orang anak bernama
    8.1 Puang Payung Allo
    8.2 Puang Tumba’ Payung Allo kawin dengan seorang Puang dari Bebo’ Sangalla’ bernama Puang Makongkan melahirkan seoran puteri bernama Tumba’ Makongkan
9. Puang Payung Allo  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale IX
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Limbu langi’ dari Kaero Sangalla’ tapi tidak mempunyai keturunan
10. Puang Tumba’ Makongkan mengganti Pamannya menjadi Puang Basse Kakanna Makale X
kawin dengan seorang Putra bernama Puang Laso’ Ses alias Puang Mammulu dari Tangti Mengkendek,melahirkan seorang putra bernama Puang Tarongko
11. Puang Tarongko mengganti ibunya menjadi Puang Basse Kakanna Makale XI
 kawin dengan 7 orang Putri ,masing-masing bernama:
11.1. Puang Lai’ Tangnga’Layuk dari Makale melahirkan
11.1.a Puang Indo’ Rante Allo
11.1.b Puang Laso’Tampo (Puang Pantan)
11.1.c Puang A.Rante Allo (Puang Tondon)
11.2. Puang Tumba’ Manuk Allo dari Manggau melahirkan seorang Putera bernama Puang Manuk Allo dikirim oleh ayahnya ke Sidenreng (Bugis) dan mendapat gelar Andi Lolo,
Catatan:
Besama ManukaAlloyang dikirim Puang Tarongko,Puang Limbu Langi’ (Puang Basse Tanganna Sangalla XI/Puang Tomatasak XXV) juga mengirim puteranya Laso’Rinding (Puang Sangalla), mereka pulang dengan menguasai Bahasa,budaya dan menulis lontar,Taktik dan seni strategi perang Bugis

      11.3. Puang Tumba’Toding Allo melahirkan putera bernama Puang Toding Allo(Puang Rante Allo)
11.4. Puang Tumba’Sumbung melahirkan 2 orang masing-masing bernama
11.4.a. Puang Sumbung(Puang Massora)
11.4.b. Puang Lai’ Tambing
11.5. Puang Tumba’Sa’dan melahirkan puteri bernama Puang Lai’ Sa’dan
11.6. Puang Tumba’Baratu melahirkan puteri bernama Puang Lai’ Baratu
11.7. Puang Tumba’Pidun melahirkan putera bernama Puang Sumbung(Pidun)
Catatan:
Dan pada saat itu muncul invasi Bugis ke Tana Toraja. Terjadilah perang antara Uwa Situru’ alias Andi’ Guru melawan bangsawan Toraja. Orang -orang yang lemah menjadi korban karena ditawan oleh Bugis. Peristiwa ini dalam sejarah disebut :
Tonna Kumande ulang bulu bangla’
Tenna mangintok karidi’ dipabaru
12. Puang Rante Allo alias Puang Tondon menggantikan ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale XII
di Lembang Makale dengan gelar Kepala Distrik Makale (1923-1943)
Catatan:

Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self bestur Luwu Puang A.Rante Allo kawin dengan dua orang putri masing-masing bernama:
12.1. Puang Lai’Sirande dari Mengkendek,melahirkan 5 orang anak yaitu:
12.1.a. P.Lai’Rante Allo
12.1.b. P.Tandi Lesse Rante Allo
12.1.c. P.Lai’Bassang
12.1.d. P.Rante Allo (Rante)
12.1.e. P.Bunga Bau’
12.2. Lai’Jaga dari Penanda Rante Bua,melahirkan Danduru Cs

Puang Manuk Allo (Andi Lolo) kawin dengan 7 orang putri masing-masing bernama:
1. Tumba Datu dari Tiromanda,melahirkan 2 orang putera yaitu:
a. Puang Johanis Lambe Andilolo
b. Puang Benyamin Ruruk Andi Lolo


2. Puang Sinnong La’bi dari Bungin Makale,melahirkan 5 orang anak
a. Puang Mendedek
b  Puang Lai’Andi kawin dengan Puang Laso’Torantu
c. Puang Lai’Surao
d. Puang A.Duma’ Andi Lolo
e. Puang Lai’Songkeng kawin dengan BT.Sakkung

3. Indo’na Paga’,melahirkan 2 orang anak yaitu:
a. Haji Paga’ Andilolo
b. J.Ba’ka’ Andi Lolo
4. Indo’na Songkeng dari Dun,melahirkan Songkeng yang tamanang

5. Lai’Simmin dari Sopai,melahirkan :
a. Marunu
b. Kenda
c. Sulle
6. Indo’na So’Rante dari Sillanan,melahirkan So’Rante,mate malolle’ di rimba kayu hitam Palu Sulawesi    Tengah

7. Indo’na Lai’Koli’,melahirkan 2 orang puteri yaitu:
a. Haji Koli’
b. Lai Sanning
13. Puang Adrial Duma’ Andilolo Putra dari Puang Andilolo menggantikan Pamannya Puang A.Rante Allo sebagai Puang Basse Kakanna XIII di Lembang Makale dengan gelar Kepala Distrik Makale  (1943 – 1949). Puang A.D Andilolo kawin dengan D.Mapaliey
Catatan:

Pada tanggal 18 Oktober 1946 dengan besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 ( Stbld Nomor 105 ) Onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari Swapraja yang berdiri sendiri dibawah satu pemerintahan yang disebut TONGKONAN ADA’.Catatan ttg Puang A.D Andilolo:
1. Sebagai Puang Makale 1943-1949
2. Sebagai Ketua Dewan Tongkonan Ada’KerajaanTana Toraja 1949 s.d 1950 Susunan Dewan Eksekutif Kerajaan Sendiri Tana Toraja :
Ketua     : Puang A.D.Andilolo dari Makale
Anggota : Puang Laso’Rinding dari Sangalla’
Anggota : Puang Laso’Torantu dari Mengkendek’
Anggota : Ma’dika Bombing dari Buakayu
Anggota : Ma’dika Tandirerung dari Ulusalu
Anggota : Siambe’ H.Saba’ dari Madandan
Anggota : Siambe’ Tandirerung dari Kesu’
Anggota : Siambe’ Salurapa’ dari Nanggala’
Anggota : Siambe’ Kombong Langi’ dari Tikala
Anggota : Siambe’ Sarungu’ dari Pangala’3. Anggota Parlemen RIS 1950 s.d 1959
4. Menjadi Gubernur muda pada Kementrian Dalam Negri RI sampai pensiun tahun 1988Pada saat Pemerintahan berbentuk serikat (RIS ) tahun 1946 TONGKONAN ADA’ diganti dengan suatu pemerintahan darurat yang beranggotakan 7 orang dibantu oleh satu badan yaitu KOMITE NASIONAL INDONESIA ( KNI ) yang beranggotakan 15 orang.
Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, Pemerintah Darurat diadakan dan pada tanggal 21 Pebruari
14. Puang Tandi Lesse Rante Allo mengganti sepupunya Puang AD Andilolo sebagai Puang Basse Kakanna XIVdi Lembang Makale (1950-1960)

Catatan:
Tahun 1957 Toraja menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarklan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1957
dan Berdasarkan UU No.29/1959
Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 dibentuk Kabupaten Daerah Tingkat II Tana-Toraja yang peresmiannya dilakuan pada tanggal31 agustus 1957 dengan Kepala Daerah yang pertama bernama LAKITTA.
15. Puang Nataniel Taruk Allo Andilolo mengganti pamannya Puang Tandi Lesse Rante Allo sebagai Puang Basse Kakanna XV (terakhir) di Lembang Makale  atau kepala Distrik Makale (1960-1962)  pada saat itu Tanah Toraja telah terbentuk sebagai Kabupaten Daerah TK II Tanah Toraja dan yang menjadi Bupati KDH Tanah Toraja adalah Bupati H.L.LethePada tahun 1961 berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 2067 A,Administrasi Pemerintahan berubah dengan penghapusan sistim Distrik dan Pembentukan Pemerintahan Kecamatan.Tana Toraja Pada waktu itu terdiri dari 15 Distrik dengan 410 Kampung berubah menjadi 9 Kecamatan dengan 135 Kampung,Kemudian dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 450/XII/1965 tanggal 20 desember 1965 diadakan pembentukan Desa Gaya Baru.

KETEGANGAN BUDAYA NENEK MOYANG DAN AGAMA DALAM MASYARAKAT TORAJA

(Oleh : Christian Tanduk)

Tulisan ini merupakan suatu analisis sosial masyarakat Toraja yang telah mengalami perubahan dalam bingkai budaya nenek moyang, agama dan modenitas. Penulis menyadari bahwa untuk membahas hal ini secara komprehensif, dibutuhkan penelitian yang komprehensif pula. Sementara itu, analisis yang penulis coba paparkan di sini didasarkan pada pengalaman empiris penulis – yang dibesarkan, belajar, dan melayani (sebagai Pendeta) dalam komunitas etnis Toraja – yang kemudian dirangsang oleh diskusi dalam kuliah “Agama dan Masyarakat”. Jadi selayaknya tulisan ini diberi label: “sebuah catatan awal”.


Dalam upaya memahami masyarakat Toraja ini, penulis mengelaborasi metode Bernard Adeney-Risakotta dalam kajian tentang model masyarakat Indonesia yang melihat modernitas, agama dan budaya nenek moyang sebagai tiga jaringan makna . Namun mengingat implikasi model ini sangat luas, maka penulis mempersempitnya dengan persoalan pokok: bagaimana ketiga jaringan makna ini membentuk etos dan world view masyarakat Toraja. Namun dalam pembahasannya penulis menukarkan posisi jaringan itu menjadi budaya nenek moyang, agama dan modernitas. Pembahasan seperti ini mengandaikan kronologi perubahan sosial masyarakat Toraja. Pertama-tama, budaya nenek moyanglah yang mengakar dan membentuk masyarakat Toraja. Setelah itu menyusul kehadiran agama dan merebaknya pengaruh modernitas. Penulis berusaha menghindarkan pembahasan ini dari unsur historis. Namun dalam tulisan ini hal tersebut bisa saja muncul di sana sini. Sebab menurut penulis, untuk menganalisis kondisi masyarakat saat ini dalam ketiga jaringan makna di atas, mau tidak mau kita harus sejenak menoleh ke belakang.



Masyarakat Toraja

Sebelum lebih jauh dalam pembahasan ini, penulis merasa perlu untuk sedikit menjelaskan apa yang penulis maksudkan dengan masyarakat Toraja. Istilah ini penulis pakai untuk membedakan kelompok masyarakat etnis Toraja yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja dengan yang hidup sebagai perantauan di luar Tana Toraja. Pembedaan ini dilakukan mengingat adanya perbedaan pola pikir yang cukup mendasar antara orang Toraja yang tinggal di Toraja dan yang tinggal diluar Toraja dalam menanggapi masalah budaya nenek moyang, agama dan modernitas, serta pengaruhnya terhadap perilaku sosial mereka. Bagi mereka yang tinggal diluar Tana Toraja, perilaku sosial mereka cukup dipengaruhi oleh motifasi mereka meninggalkan Tana Toraja yaitu pekerjaan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar orang Toraja yang merantau, hidup di daerah dalam konteks masyarakat yang majemuk, baik secara etnis maupun agama. Berbeda dengan komunitas yang tinggal di daerah Tana Toraja yang cenderung homogen.



Makna Budaya Nenek Moyang Bagi Masyarakat Toraja
Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah : Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah. Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya.
Jika Durkheim membedakan antara yang sakral dan profan, maka hal itu tidak berlaku bagi Aluk to Dolo. Tidak ada yang profan. Semua aktifitas manusia memiliki nilai sakral mulai dari persoalan tidur sampai membangun rumah. Demikian halnya keberadaan manusia dari lahir sampai mati, aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol yang berhubungan dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia Toraja. Aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol itu menghubungkan manusia secara khas dengan dengan tatanan faktual, baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan inilah yang membentuk way of thinking dan way of living Toraja dan menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya.
Paradigma yang dipakai Geertz mengenai sintesa etos dan pandangan dunia daalam sebuah kebudayaan sangat membantu kita untuk memahami makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja . Simbol-simbol dan motifasi apapun yang dicerminkan pola budaya ini sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang tatanan faktual, dimana manusia, alam dan yang ilahi terikat dalam sesuatu yang serba sakral. Jika kemudian Geertz mendefinisikan agama dari paradigma ini, rasanya definisi yang dihasilkan Geertz tidak berbeda dengan makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja.

Budaya Nenek Moyang Dalam Perjumpaannya Dengan Agama Kristen
Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah “Kristus melawan Kebudayaan”.
Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos dan pandangan dunia yang berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun.
Dalam hal ini penulis melihat bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman. Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis. Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini:
a. Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: “Itu tidak sesuai dengan firman Tuhan”; “Inilah kehendak Yesus”. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : ”Menurut orang tua….”. (Maksudnya nenek moyang), “Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”.. Dengan ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : “Ah, kita kan sudah Kristen”.
Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi, agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan. Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya) ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama. Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk. Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.
b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas); tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang awam (to buda).
Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada. Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya, fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.
Hal ini juga berhubungan dengan asas kepemimpinan bottom up dan dan top down. Dalam konteks gereja teori yang berlaku adalah asas bottom up yang demokratis. Sedangkan dalam kontek kehidupan sehari-hari asas top down-lah yang berlaku. Jika demikian, masyarakat – entah sadar atau tidak – sedang dibentuk dalam dua teori kepemimpinan yang bertolak belakang itu. Implikasinya bisa menjadi bumerang bagi wibawa gereja atau wibawa adat ketika terjadi persilangan. Maksudnya asas bottom up mau dipaksakan dalam komunitas budaya, dan asas top down hendak dipaksakan dalam komunitas agama. Pemaksaan itu bisa saja dilakukan para pemuka adat atau warga biasa dalam gereja yang tidak nyaman dengan asas botom up. Atau oleh para pemuka agama yang merasa tidak nyaman dengan asas top down dalam masyarakat. Kita sudah bisa menebak akibatnnya : konflik dalam gereja atau konflik sosial dalam masyarakat, atau konflik antara institusi gereja dan institusi masyarakat.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kondisi sosial masyarakat Toraja yang terus menerus berubah saat ini senantiasa berada dalam tarik menarik antara budaya nenek moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan “pakaian” Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi di dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka “pakaian” Kristennya di pakai.
Masyarakat Toraja dan Pola Pikir Modernitas: Implikasi ketegangan antara budaya dan agama
Jika kembali kepada paradigma budaya Geertz, masyarakat Toraja sekarang ini – entah sadar atau tidak, tetapi kemungkinan besar tidak disadari – sedang mengalami kebingungan pembentukan etos dan worl view. Antara dogma agama dan budaya nenek moyang. Antara keduanya ada tarik menarik, bahkan pertentangan. Gejala sosial yang dilematis ini menjadikan situasi masyarakat Toraja saat ini cukup rawan ketika diperhadapkan dengan modernitas dengan berbagai karakteristiknya.
Sejauh kita memahami modernitas sebagai sebagai keterikatan kepada rasionalitas dalam semua sisi kehidupan, kita tidak dapat sepenuhnya mengklaim bahwa modernitas sama sekali belum menyentuh masyarakat Toraja pada saat agama Kristen mulai berkembang. Bagaimanapun juga, doktrin yang dibawa para zending ke Toraja tidak lepas dari pergulatan modernitas di Barat (Belanda). Bahkan adanya tarik menarik antara pandangan dunia budaya dan pandangan dunia agama bisa jadi disebabkan pengaruh pola pikir modern.
Tetapi jika kita mencoba memfokuskannya pada etos dan pandangan dunia yang ditawarkan laju modernitas, maka akan segera terlihat ketidaksiapan mental masyarakat Toraja menghadapi fenomena sosial yang ditimbulkan pola pikir atau kita sebut saja kebudayaan modern. Ketidaksiapan itu bukan berarti penolakan, tetapi penerimaan tanpa kritik. Gejala ini sudah menjadi fenomena yang cukup umum dalam masyarakat Toraja sekarang ini. Tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama menyebabkan etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja terjebak dalam dualisme dan dikotomi. Keadaan ini menjadi cela yang cukup besar, yang memungkinkan kebudayaan modern mulai membentuk masyarakat tanpa ada perlawanan atau kritik yang berarti dari masyarakat, baik dengan dasar budaya maupun agama. Para pemerhati kebudayaan daerah maupun gairah pelayanan gereja sebenarnya cukup menyadari bahaya ini dan melakukan berbagai upaya pembinaan. Tetapi etos dan world view yang terlanjur tidak konsisten menyebabkan masyarakat tidak cukup kuat untuk mengajukan kritik terhadap kebudayaan modern serta melakukan kontrol terhadap infiltrasi kebudayaan modern. Akibatnya budaya modern mulai membentuk etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja.
Salah satu contoh adalah individualisme. Karakter ini mulai menjadi warna masyarakat Toraja. Padahal karakter demikian sangat bertolak belakang dengan semangat kebersamaan orang Toraja yang terkenal dengan semboyan misa’ kada di potuo pantan kada di po mate (artinya kurang lebih sama dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh). Ironisnya, individualisme itu bisa tercermin dalam sebuah aktifitas yang berlatar belakang budaya.
Penulis mencontohkan fenomena ini dengan menyorot salah satu upacara adat Toraja yaitu upacara pemakaman (rambu solo). Dari luar kita bisa melihat adanya nilai budaya yang besar dalam upacara ini. Ada pondok-pondok yang dirikan secara gotong royong. Hewan korban (kerbau dan babi) disiapkan untuk menjamu tetamu yang datang sekaligus simbol penghargaan kepada si mati . Setelah itu sanak famili dan kenalan mengungkapkan tanda dukacita melalui kehadiran dalam upacara itu sekaligus membawa babi atau kerbau sebagai tanda simpati. Pada akhir pesta (yang biasanya 3 sampai 4 hari), ada juga hewan korban yang disisihkan untuk disumbangkan kepada gereja.
Tetapi jika kita mencermati motifasi dibalik persiapan dan pengorbanan itu, kita akan menemukan bahwa unsur gengsi atau prestise sangat mengemuka. Demi martabat di mata masyarakat, keluarga si mati akan mempersiapkan pesta dengan hewan korban sebanyak mungkin. Walaupun merupakan sebuah pemborosan yang penting harga diri akan terjaga. Sementara itu, sumbangan dukacita (dalam bentuk hewan korban) yang dibawa famili yang lain atau kenalan, tidak lagi dianggap sebagai tanda simpati, tetapi hutang. Jika sekali waktu kenalan tersebut menggelar upacara yang sama, maka mau tidak mau hutang itu harus dibayar. Jika tidak, harga diri menjadi taruhan. Sumbangan ke Gereja pun tidak lepas dari masalah harga diri. Menyumbang banyak artinya terhormat, prestise terjaga. Tidak menyumbang, memalukan. Dalam hal ini individualistis berjalan bersama dengan materialisme. Sekiranya Ferdinand Toennies menganalisis kedaan ini maka pembedaan Gemeinshaft dan Gesselschaft dalam teorinya akan mengalami kerancuan. Masalahnya karakteristik Gesselschaft yang diidentifikasi Toennies justru sering tercermin dalam sebuah konteks Gemeinshaft di Toraja. Kita bisa sederhanakan fenomena ini dengan ungkapan “modenitas yang berpakaian tradisional”.
Dengan semua kenyataan ini, indikasi keterasingan atau ketercabutan masyarakat Toraja dari akar budayanya mulai terlihat. Tetapi saya sendiri berharap bahwa teori-Hegel tentang keterasingan masyarakat modern dari lingkungannya, atau teori kurungan besi Weber tidak akan pernah terjadi dalam konteks masyarakat di Toraja.
Kesimpulan dan Penutup
Sebagai kesimpulan, penulis menyimpulkan pembahasan ini dengan mencoba menggambarkan kondisi sosial masyarakat Toraja saat ini dengan dua illustrasi berikut:
Pranata sosial dan struktur sosial masyarakat Toraja sedang (bahkan sudah lama) berada dalam tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama. Akibatnya Etos dan world view masyarakat berada dalam dualisme dan dikotomi. Disadari atau tidak, masyarakat sedang berada dalam kebingungan merumuskan jati dirinya.
Keadaan itu menyebabkan infiltrasi kebudayaan modern berlangsung tanpa kritik dan koreksi dan budaya atau agama. Akibatnya, etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja mulai dibentuk oleh karakteristik budaya modern, tetapi ironisnya sering ditampilkan dalam kemasan budaya atau agama.
Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pemerhati budaya dan pemuka agama, khususnya agama Kristen, termasuk penulis.

OSSORAN TEMPON DAOMAI LANGI'



(naosso' Ne' Mani', to minaa daomai Sereale)

H. VAN DER VEEN





  • Langi'mo mula-mulanna sola tana. Nagaragai ampunna tana,ampunna lino. / Sirampanammi kapa' langi' na tana. Dadimi tau a'pa',iamo tu: disanga Puangdilalundun, disanga Labiu-biu, disanga Indo' Ongon-Ongon, disanga Simbolongpadang. /
  • To Manurun dan To Bu’tu Ri Uai: Nenek Moyang To Manurun


    Oleh :
    (Roxana Waterson)


    Di Tana Toraja, ide To Manurun, mitos yang menceritakan seseorang yang turun dari langit ke puncak-puncak gunung dan menjadi para penguasa lokal, Toraja Tomanurun selalu dipasangkan dengan satu pasangan dengan sama hal-hal yang gaib, seorang wanita yang bangkit ke luar dari suatu kolam/sungai. Kesu mengklaim To Manurun Manurun Di Langi’ adalah nenek moyang yang paling penting, sementara di Tallu Lembangna, Tamboro Langi' (Toma’ Banua ditoke’, Toma’ Tondok dianginni) lebih penting. Bagaimanapun bangsawan-bangsawan dari kedua area ini telah mengklaim bahwa Tomanurun mereka adalah pusat pemerintahan. Mereka tidak sependapat jika ada yang mengatakan bahwa To Manurun berasal dari bagian barat (Ullin).
    Salah satu perbedaan  yang spesifik adalah tempat dimana pertama kali Tamboro Langi’ diturunkan. Menurut tradisi-tradisi bagian barat, ia turun di Ullin, suatu puncak di daerah Banga, dan membangun rumah di sana dengan istrinya, Sanda Bilik, yang muncul dari pertemuan sungai Sa'dan dan sungai Saluputti. Ullin juga dihubungkan dengan deata, yang dikatakan berkumpul ke sana tiap-tiap tahun setelah panenan.
    Bangsawan di Tallu Lembangna, bagaimanapun, cenderung untuk mengaku Tamboro Langi’ tidak diturunkan di Ullin, tapi di Kandora. Beberapa versi mengatakan ia kemudian pindah ke Ullin, dan yang lain bahwa ia hanya di Kandora dan tidak pernah pergi ke barat sama sekali.
    Tongkonan Layuk pada tiap area mempunyai kisah – kisah sendiri tentang para nenek moyang dan kejadian-kejadian hal-hal yang gaib. Contoh-contoh yang berikut dikumpulkan di daerah Saluputti, terutama Malimbong. Ullin membentuk suatu segi tiga dengan dua gunung yang lain mencapai puncak yang kelihatan dari Malimbong: Sado'ko' dan Messila. Di samping Tamboro Langi' dari Ullin, nenek moyang penting di silsilah-silsilah Saluputti adalah Gonggang Sado'ko', yang turun di Sado'ko' dan menikah dengan wanita yang muncul dari kolam yang bernama Marrin di Liku. Dalam sebuah cerita Gonggang diklaim sebagai manusia yang pertama di atas bumi di Toraja bagian barat, dan memiliki enam belas anak-anak, sebagian memiliki nama-nama dari dewata-dewata dalam versi Toraja. Alm. Mangesa mantan Kepala Desa Malimbong (1965-71), yang mengakui dirinya keturunan generasi yang ke sebelas dari Gonggang, menurutnya karna memelihara kekuatan supranaturalnya, sehingga Gonggang masih hidup pada waktu invasi Arung Palakka. Tetapi di dalam silsilah-silsilah dari beberapa orang di Ullin, ia bukan To Manurun, tetapi sebagai cucu laki-laki Tamboro Langi'. Gunung yang ketiga, Messila, juga dihubungkan dengan Tomanurun, Kila' Ta'pa ri Ba'tang. {Menurut silsilah mereka yang berasal dari Lion, Rorre dan Lemo, Makale Utara, Puang Kila’ Ta’pa Ri Batang menikah dengan Marring di Liku dan memiliki 4 orang anak masing-masing Sadodo’na’, Batotoi Langi’, Pulio dan Palandangan. Palandangan lalu menikah dengan Batan di Lomben melahirkan Arung (Pangala Tondok di Rorre), Para (Pangala Tondok di Lemo) dan Lembu’bu’ yang kemudian menikah dengan Patantan dan melahirkan Saarongre yang menjadi Pangala Tondok di Lion Tondok Iring.} 
    Hanya sedikit yang diketahui tentang Tomanurun ini, tetapi menurut Isaak Tandirerung, mantan Camat dari Ulusalu, ia turun agak belakangan dibanding Tamboro Langi'. Ia menikah dengan seorang wanita kolam dan membangun rumah di Messila (yang tidak lagi ada), dan keturunan-keturunannya kemudian mendirikan Tongkonan Pattan, Tongkonan Layuk di Ulusalu, dari mana Isaak berasal.
    Di desa Malimbong pada waktu dari ambil alih Belanda, ada dua Tongkonan Layuk yang bersaing mana yang paling utama, Pasang dan Pokko', dekat Sawangan. Silsilah Pasang memulai dengan Gonggang Sado'ko', Pokko dengan nenek moyang yang lain yaitu Pa'doran. Keturunan-keturunan dua Tongkonan ini cenderung untuk memperbesar pentingnya nenek moyang mereka sendiri, selagi menertawakan kisah-kisah tentang yang lain. Pa'doran dikatakan dilahirkan dua generasi setelah Gonggang, tetapi juga memimpin pasukan Gonggang di dalam peperangan melawan terhadap Bone. Ia bukan to manurun, tetapi to mendeata, karena ia telah menerima kuasa-kuasa dari deata dalam mimpi. Ia bisa berjalan beberapa mil-mil di dalam suatu langkah dan mempunyai kekuatan supranatural. Jika ia berdiri di Sado'ko', ia bisa menjangkau Messila di dalam suatu langkah, dan dengan langkah ketiga berada di Ullin.
    Beberapa cerita tentang Pa'doran dihubungkan dengan fitur lokal dari daerah sekitarnya. Segala hal yang ia katakan akan terjadi. Ketika ia berkata, "Kerbauku adalah besar", dengan segera menjadi mahabesar, dan ketika ia berkata, "Kerbauku akan membuat suatu gunung dengan tanduknya", kerbau mengombang-ambingkan kepalanya dan menanduk dua kerut yang besar dengan tanduknya. Bukit ini kemudian diberi nama disebut Buttu Susu, suatu daerah di Malimbong. Di dalam versi yang lain, tandukan kerbau itu menjadikan Buttu Susu, Bea dan Matande; galiannya membentuk gunung yang disebut Gattungan, dekat Buttu Susu. Pa'doran tidak pernah menikah. Ia benci untuk busuk pada kematian, dan sebagai gantinya ia menyuruh keluarganya untuk membuat suatu keranjang yang khusus untuk dia. Ia lalu memanjat ke dalamnya dan berubah menjadi batu. Keranjang ini masih disimpan di dalam tongkonan Pokko', dan hanya dapat dilihat jika ada upacara sesaji. Penduduk meyakini bahwa ketika satu gemetaran bumi dirasakan di sini, ini berarti bahwa Pa'doran sedang keluar dari keranjang untuk berjalan-jalan, lalu koin yang berderik terdengar di dalam rumah.
    Satu lain kepada manurun di Malimbong dihubungkan dengan tongkonan pada Parinding di Sa'tandung.  Batotoilangi' (Muncul dari langit) menikahi seorang wanita yang bernama Mandalan i Limbong, yang muncul dari mata air alami, yang sampai sekarang masih digunakan sebagai mata air oleh penduduk desa di Parinding. Mereka mempunyai delapan anak. Suatu hari, Batotoilangi' diserang oleh bau dari pemangangan daging anjing, dan ia pun kembali ke langit, sedang istrinya kembali ke air. Banyak pamali dihubungkan dengan rumah, tidak hanya memakan daging anjing, tetapi juga tikus (tikus ladang dikonsumsi dibeberapa bagian di Toraja), keong-keong, atau daging dari pemakaman. Juga terlarang untuk meludah di lokasi rumah. Pasangan pendirian hal ini, menurut penghuni- rumah, hidupsekitar sebelas generasi yang lalu, pada waktu yang sama seperti  Gonggang Sado'ko'. Sebelum pergi, Batotoilangi' memberitahu orang-orang bahwa mereka akan tahu ia masih di sekitar ketika mereka mendengar guntur atau ketika hujan. Jika seekor ayam dikorbankan di sini, bahkan di musim kemarau, konon gerimis turun. Ketika pelangi, selalu muncul dengan salah satu ujungnya pada lokasi dari rumah yang asli, meregang diatas pohon banyan yang tumbuh di sampingnya. Jika keturunan-keturunan dari rumah melihat suatu pelangi setelah membuat sesaji, ini berarti bahwa Batotoilangi' dan deata sudah menerimanya. Di masa. lalu, tongkonan memiliki banyak budak berkait dengannya, yang semua tinggal di bukit dimana tongkonan itu berdiri.
    Tidak susah untuk melihat bagaimana dongeng ini dan kisah-kisah, silsilah-silsilah dijadikan kekuatan politis dari tongkonan bangsawan, yang dilayani untuk mengangkat dan membenarkan status kebangsawanan mereka. kisah – kisah mistik lebih lanjut ditambahkan pada harta benda/pusaka-pusaka rumah ini (sampai para anggota generasi yang lebih muda menyerah kepada godaan untuk menjual sebagian dari barang – barang kepada penyalur-penyalur seni yang internasional). Apakah para pahlawan mereka adalah manusia nyata, atau apakah kisah-kisah itu diciptakan pertama dan nama-nama yang ditempelkan kemudian di dalam silsilah-silsilah, yang mustahil untuk ditebak. Seperti Pa'doran atau Batotoilangi', sudah sangat melokalisir reputasi-reputasi; yang lain seperti Tamboro Langi' atau Laki Padada, mempunyai suatu ketenaran yang menyebar luas dan dihubungkan dengan banyak tongkonan bersama-sama. Hubungan ini pada waktu tertentu dipertunjukkan dan diperbaharui di dalam upacara-upacara, seperti ketika pada Bulan Januari 1983, diatas 100 kelompok keturunan dari tongkonan yang terkenal pada Nonongan yang dikumpulkan untuk merayakan pembangunan rumah tongkonan. Tidak banyak Toraja dapat melacak koneksi-koneksi pada  rumah ini dan pendirinya, Manaek, tetapi maka kaleng keluarga-keluarga yang kerajaan dari Luwu', Goa dan Bone, semua mengutus wakil-wakilnya di upacara itu. Pihak Luwu' bahkan membawa seekor babi yang sangat besar. Melalui kehadirannya, mereka mengakui keturunan mereka dari Laki Padada, seperti juga hubungan mereka melalui perkawinan dengan orang golongan lain dengan kebangsawanan Toraja.

    To Manurun = Nenek Moyang yang tidak diketahi asal usulnya sehingga selalu dikatakan berasal dari langit ( ade’ nakua tau )

    Jumat, 17 Agustus 2012

    PONGTIKU MILIK SIAPA ???


















    Pengakuan terhadap pahlawan Pongtiku sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah pada tahun 2003 adalah sebuah catatan baru dalam sejarah kepahlawanan bangsa Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah. Pengakuan Pongtiku sebagai Pahlawan Nasional juga menandakan bahwa Pongtiku kini bukan hanya milik keluarga saja namun juga milik masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Toraja. Olehnya itu bukanlah sebuah hal yang keliru bila Pemda di Toraja Utara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberi perhatian yang layak terhadap peninggalan Pongtiku seperti tempat bersejarah lainnya di Toraja dan sulawesi selatan.
    Keberadaan Tongkonan di Pangala’ tempat lahirnya Pongtiku adalah salah satu peninggalannya yang sarat dengan nilai sajarah bahkan budaya. Hal ini menandakan bahwa keberadaan Tongkonan bukan hanya sebagai simbol pemersatu keluarga atau bukan hanya sebagai rumah adat Toraja semata, namun kehadiran Tongkonan juga manandakan sebagai simbol kejayaan, kekuatan, keberanian, kemerdekaan bahkan kepahlawanan. Dengan demikian, Tongkonan tempat lahirnya Pongtiku juga dapat dimaknai sebagai kemenangan dan kemerdekaan Toraja bahkan Indonesia.
    Namun sebuah hal yang sangat ironis bila pemda Toraja Utara dan Pemrov Sulawesi Selatan tidak memberikan perhatian yang layak terhadap peninggalan sang Pahlawan Pongtiku seperti Tongkonan tempat lahirnya Pongtiku sebagai tongkonan yang memiliki kekuatan sejarah. Pada masa orde baru sebelum pemekaran kabupaten Tana Toraja, Tahun 1996 tugu dan dan tempat pemakaman Pongtiku di Pangala’ dibangun dan di resmikan oleh Bupati Tana Toraja Tarsis Kodrat sebagai tanda penghargaan terhadap kegigihan Pongtiku dan kawan kawannya melawan para penjajah. Bahkan dimasa kepemimpinan Palaguna selaku Gubernur sulawesi Selatan masa orde baru pihak keluarga Pongtiku mengatakan bahwa sering mendapatkan penghargaan dari pemerintah sebagai wujud kepedulian dan rasa hormat terhadap  kepahlawanan Pongtiku dan rekan seperjuangannya. Namun sesungguhnya tugu, tempat pemakaman dan berbagai penghargaan itu tidaklah cukup bila dibandingkan dengan pengorbanan Pongtiku dan rekan rekannya.
    Sungguh tidak terpujinya Pemerintah Toraja Utara dan Pemrov Sulawesi selatan bila dimasa Otonomi Daerah peningglan bersejarah Pongtiku tidak mendapatkan perhatian prioritas. Beberapa waktu yang lalu Pemerintah Toraja Utara yaitu Bupati telah melakukan kunjungan ke tongkonan Pongtiku. Namun pertanyaannya adalah cukupkah hanya dengan perkunjungan kemudian itu dianggap sebagai hal yang luar biasa??? Sementara disisi lain rekan rekan Pongtiku yang juga berjuang mempertahankan NKRI kini terlupakan dan terabaikan oleh Pemda Toraja Utara bahkan tidak ada niat untuk menggali informasi dan memperjuangkannya agar nama mereka juga dapat disejajarkan dengan nama Pahlawan Pongtiku.
    Keberadaan dan renovasi Tongkonan Pongtiku yang diinisiasi dan diakomodasi sendiri oleh pihak keluarga semakin menguatkan asumsi masyarakat bahwa pemda toraja Utara telah melakukan pembiaran terhadap peninggalan bersejarah tersebut. Hal ini semakin kontras dengan cita cita Toraja utara yang mendambakan daerah Toraja Utara sebagai daerah parawisata dan daerah bersejarah. Sementara itu Pemrov Sulawesi Selatan dimasa otonom ini, juga terus menggaungkan bahwa daerah Toraja adalah kebanggaan Sulawesi Selatan kerna memiliki nilai sejarah dan budaya yang unik. Untuk berkunjung ke Tongkonan Pongtiku saja harus menempuh jalan puluhan kilometer dan melalui jalanan yang sangat sempit bahkan memprihatinkan.
    Bila benar bahwa Pongtiku kini bukan milik keluarga saja namun melainkan kepunyaan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya Toraja maka selayaknyalah pemda Toraja Utara dan Pemrov Sulawesi Selatan bersama sama memikirkan dan memberikan perhatian yang layak terhadap peninggalan bersejarah itu, karna tempat bersejarah juga akan menjadi tempat kunjungan wisata yang pastinya akan mendorong cita cita Pemrov Sulawesi selatan khususnya Pemda Toraja Utara.
    Bukan hanya Pongtiku yang harus mendapatkan perhatian dari Pemda Toraja Utara, namun juga kepada rekan seperjuangan Pongtiku dan keluarganya yang kini hidup dalam himpitan tekanan psikologis akibat tudingan dan tuduhan dari berbagai pihak bahkan lembaga Gereja yang menuding bahwa sahabat Pongtiku (Pong Masangka’, Ne’ Matandung, Tandibua’ dan rekan yang lain) adalah pembunuh dan pemberontak karna telah membunuh misionaris dari Belanda yaitu Van de Loosdrechct di daerah Bori’. Namun Tudingan tersebut sangat bertolak belakang dengan ajaran Kristiani yaitu Mengasihi dan Mengampuni.

    Penulis             : Frans Bore
    Ketua Umum Gerakan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Toraja (GEPPM ATOR)

    Salama' Marampa'

    Banuari na simambela anna den tang sisangbanua
    Lindori nasitoyangan anna den tang sitiro lindo sibengan petawa mammi'
    Limari na tang sitadoan anna tang sitoe manda' sisalama'
    Apa ia pole' tu penawa tontong sikala' rambu raya