Oleh:
Nicholas Dammen
Seandainya suku
Toraja tidak memiliki tradisi rambu solo’, mungkin saya sebagai orang Toraja
asli masih ma’pio.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toraja adalah termasuk salah satu dari empat suku yang mendiami
jazirah Sulawesi Selatan. Ada beberapa interpretasi mengenai nama Toraja. Orang
Bugis berpendapat bahwa istilah Toraja berasal dari kata to ri aja
(bahasa Bugis), yang artinya “orang yang berasal dari sebelah barat” atau
“orang dari ketinggian” (highlander), yakni orang yang berdomisili di
daerah pedalaman, sebagai lawan kata dari to ri lau’ artinya “orang dari
pesisir”. Pendapat lain mengemukakan Toraja berasal dari kata to
rajang yang berarti “orang dari bagian barat” (rajang, bahasa
Makassar berarti barat) atau “orang yang berasal dari gunung” (the man from
the mountain). Pandangan itu diperbaharui oleh mitologi masyarakat setempat
yang menceritakan tentang daerah asal leluhur pertama mereka. Ada juga yang
mengartikan Toraja sebagai to raya atau to maraya, dengan
pengertian orang yang bermartabat mulia (to = tau, berarti ‘orang’, dan raya
= maraya berarti ‘agung atau mulia’. Di samping itu, ada pula yang memberi
pengertian Toraja adalah orang-orang keturunan raja (to = ‘orang’,
raja tetap berarti ’raja’), orang yang berasal dari keturunan manusia
pertama di Tana Toraja dalam konteks to Manurun di Langi’, atau manusia
titisan dewata yang pertama turun dari langit ke atas bumi dahulu kala. (Ferry
Rita, 2005: 1)
Tanah Toraja bagi orang-orang Toraja biasanya disebut dengan
sebutan akrab sebagai “Tondok Lepongan Bulan – Tana Matari’ Allo”. Bagi
penduduknya, “Tondok Lepongan Bulan” (bumi berbentuk lingkaran bulan)
adalah “bumi sempurna” yang disimbolkan dengan idiom “lepongan” dalam
pengertian “lingkaran” berkonotasi sejajar dengan makna “kesempurnaan”.
Di sisi lain, dengan gelarnya sebagai “Tana Matari’ Allo” (negeri matahari bersinar), wilayah itu
dipandang sebagai “negeri abadi”. Pandangan itu terungkap dari simbol makna
kata “matari’ allo” yang berarti “cahaya matahari” yang dipertalikan
dengan konotasi makna kata “keabadian”. (Ferry Rita, 2005: 1-2).
Tana Toraja terletak di pusat pulau Sulawesi (posi’na lebukan
Sula’ bassi), yang terdiri dari daerah pegunungan dan bukit terjal dengan
ketinggian rata-rata antara 600 – 2800 m dari permukaan laut. Keadaan topografi
yang bergelombang mengakibatkan pemukiman penduduk menjadi terpisah-pisah dan
terisolasi oleh tenete (gunung). Namun demikian, persatuan masyarakat
Toraja tetap erat seperti yang tersirat dalam ungkapan “misa’ kada dipotuo –
pantan kada dipomate” yang artinya (bersatu kita teguh – bercerai kita
runtuh).
Sisi spiritual suku Toraja dikenal sangat kuat dan mempengaruhi
kehidupan masyarakat adat Toraja hingga masa modern ini. Hal itu terlihat jelas
dalam pelaksanaan ritus rambu solo’ (upacara kematian, bagian dari aluk
todolo) yang berhasil menembus sekat nilai-nilai Kristiani dan modernitas.
Letak Tana Toraja yang berada di pedalaman membuat kultur politik
masyarakat Toraja menjadi statis. Sebab dengan kentalnya stratifikasi sosial,
maka peluang kalangan bawah untuk menerobos sekat hierarki menjadi sangat
kecil. Tetapi dalam bidang pendidikan, masyarakat Tana Toraja justru sangat
dinamis. Hal ini ditandai jumlah sekolah dan siswanya menduduki peringkat
ketiga di Sulawesi Selatan juga dengan munculnya sejumlah sekolah menengah yang
bertaraf internasional seperti; SMA Kristen Barana, dan SMA Negeri I Makale.
Dalam sebuah seminar yang diadakan pada tahun 2008 di Kampus UKI Paulus, Ishak
Ngeljaratan mengatakan bahwa pada kisaran tahun 1990-an sekitar 40% mahasiswa
Universitas Hasanuddin adalah siswa-siswa yang berasal dari sekolah-sekolah
menengah Tana Toraja. Padahal Tana Toraja termasuk daerah pedalaman dengan
watak dan kultur yang, eksklusif dan sektarian, cenderung statis. Menurut
Nurcholish Madjid, masyarakat bercorak kultur pedalaman (inland culture)
kurang dinamis dibanding dengan masyarakat kultur pesisir (coastal culture).
(Nurcohlish Madjid, 2004 : 39) Sehingga menurut Mohd. Sabri AR, pembangunan
kebudayaan lebih difokuskan pada daerah pesisir karena lebih relevan dengan
perkembangan kekinian. (Mohd Sabri AR, 2007 : 4)
B. Perumusan Masalah
Ada tiga hal pokok yang menjadi rumusan masalah dalam karya tulis
ini yaitu:
1. Mengapa ritus Rambu Solo’ masih bertahan hingga kini?
2. Dimanakah letak pengaruh tradisi Rambu Solo’ terhadap
perkembangan pendidikan di Tana Toraja?
3. Bagaimanakah pola pengembangan pendidikan di Tana Toraja pada masa
akan datang?
C. Tujuan Penulisan
Karya tulis ini bertujuan untuk:
1. Menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga tradisi
melaksanakan ritus Rambu Solo’ tetap bertahan hingga kini.
2. Menjelaskan letak pengaruh tradisi Rambu Solo’ terhadap
perkembangan pendidikan di Tana Toraja.
3. Merumuskan pola pengembangan pendidikan di Tana Toraja di masa
akan datang.
D. Mamfaat Penulisan
Karya tulis ini bermamfaat untuk:
1. Memperdalam pengetahuan tentang hubungan budaya dan pendidikan.
2. Mengetahui hakekat upacara adat atau ritus rambu solo’.
3. Mempertahankan dan meluruskan serta merekonstruksi kembali makna
yang terkandung dalam upacara adat Rambu Solo’.
4. Memahami peranan ritus rambu solo’ terhadap dunia
pendidikan di Tana Toraja.
5. Mengetahui prospek pendidikan di Tanah Toraja.
E. Metode
Penelitian
Penelitian terhadap pengaruh Ritual Rambu Solo’ Terhadap
Perkembangan Pendidikan di Tana Toraja menggunakan metode kausal-komparatif
untuk mengkomparasikan antara variable yang satu dengan yang lainnya yakni
antara pendidikan dengan ritual rambu solo’.
Penelitian kausal
komparatif adalah penelitian yang dilakukan untuk membandingkan suatu variabel
(objek penelitian), antara subjek yang berbeda atau waktu yang berbeda dan
menemukan hubungan sebab-akibatnya (Marzuki, 1999:122). Penelitian kausal
komparatif (causal comparative research) yang disebut juga penelitian ex
post facto adalah penyelidikan empiris yang sistematis di mana peneliti
tidak mengendalikan variabel bebas secara langsung karena keberadaan dari
variabel tersebut telah terjadi atau karena variabel tersebut pada dasarnya
tidak dapat dimanipulasi.
Lebih lanjut Marzuki mengemukakan
bahwa studi kausal komparatif atau ex post facto adalah penelitian yang
berusaha menentukan penyebab atau alasan, untuk keberadaan perbedaan dalam
perilaku atau status dalam kelompok individu. Dengan kata lain, penelitian
kausal komparatif adalah penelitian yang diarahkan untuk menyelidiki hubungan
sebab-akibat berdasarkan pengamatan terhadap akibat yang terjadi dan mencari
faktor yang menjadi penyebab melalui data yang dikumpulkan. Dalam penelitian
ini pendekatan dasarnya adalah memulai dengan adanya perbedaan dua kelompok dan
kemudian mencari faktor yang mungkin menjadi penyebab atau akibat dari
perbedaan tersebut.
Berdasarkan pengertian
diatas, sebagian ahli menyebutkan ex post facto (bahasa latin
‘setelah fakta’) karena peneliti tidak memulai prosesnya dari awal, melainkan
langsung melihat hasilnya. Dari hasil yang diperoleh tersebut peneliti mencoba
mencari sebab-sebab terjadinya peristiwa itu. Adapun tujuan penelitian ini
adalah untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab-akibat berdasarkan atas
pengamatan terhadap akibat yang ada, dan mencari kembali fakta yang mungkin
menjadi penyebab melalui data tertentu.
PEMBAHASAN
A. Upacara Rambu Solo’ di Tengah Zaman yang Berubah
Secara general, ritual adat suku Toraja terbagi dalam dua
mainstream, yakni; rambu tuka' dan rambu solo'. Rambu Tuka'
adalah ritus yang berkaitan dengan upacara sekitar kehidupan, dalam kategori
ini tercakup upacara pesta panen,
perkawinan, kelahiran, pesta syukuran atau suka cita dan lainnya yang
berupa syukuran. Ritual ini dilaksanakan saat matahari terbit hingga siang atau
tengah hari (Aluk Rampe Mata Allo), dan lebih berorientasi ke arah timur
sehingga ritualnya dilaksanakan di sebelah timur Tongkonan (rumah adat
Toraja). Sementara Rambu Solo’ adalah ritual yang memiliki keterkaitan
dengan kematian atau pemakaman (Aluk Rampe Matampu’). Ritual ini
dilaksanakan pada saat matahari mulai terbenam yang dilakukan di sebelah barat Tongkonan.
Ritual Rambu Solo' menjadi demikian penting dalam tradisi
suku Toraja dari sudut pandang Masyarakat Adat. Kesempurnaan upacara kematian
akan menentukan posisi arwah, apakah sebagai bombo (arwah gentayangan), to-membali
puang (arwah yg mencapai tingkat dewa), atau deata (menjadi dewa
pelindung). Dalam konteks ini, upacara kematian menjadi sebuah hal yang wajib, sehingga
dengan cara apapun orang Toraja hampir pasti akan mengadakan upacara tersebut,
karena dengan cara inilah mereka mengabdi kepada orang tua serta menjaga dan
melestarikan budaya/tradisi.
1. Hakikat Ritus Rambu
Solo’
Pada dasarnya orang Toraja
telah menanamkan arti kehidupan, arti kematian dan, cara menanggulanginya
kepada setiap keturunannya. (Marrang Paranoan, 1990 : 11 – 12) Upacara rambu
solo’ dalam budaya Toraja berimplikasi pada empat aspek yaitu;
a) Cinta artinya; pelaksanaan ritual rambu solo’ adalah tanda
cinta terhadap orang yang telah meninggal. Orang Toraja merasa ma busung (terkutuk)
jika tidak mengupacarakan orang tuanya yang meninggal dengan layak sesuai
dengan ketentuan tana-nya (takaran budaya).
b) Prestise artinya; bahwa
ritual rambu solo’ dilaksanakan berdasarkan martabat suatu rumpun
keluarga. Jadi banyaknya hewan kurban yang disembeli dalam upacara rambu
solo’ menjadi tolak ukur tingginya martabat sebuah keluarga atau si mati.
c) Religius artinya; aspek religius juga menjadi salah satu alasan
pelaksanaan ritual rambu solo’. Menurut mitos aluk to dolo,
semakin banyak hewan kurban maka arwah “si mati” semakin terjamin pula masuk puya
(surga).
d) Ekonomi artinya; dalam uapacara rambu solo’ juga diadakan
pembagian warisan yang ditinggalkan si mati. Pembagian warisan itu didasarkan
atas jumlah hewan kurban yang dipersembahkan tiap ahli waris. Sehingga tiap
ahli waris berusaha mengurbankan hewan sebanyak-banyaknya untuk menguasai harta
warisan.
Keempat unsur di atas memiliki kedudukan
yang sama dalam pelaksanaan ritual rambu solo’.
2. Fungsi Sosial
Ritus Rambu Solo’
Pelaksanaan ritual rambu solo’ di
Tana Toraja sarat dengan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai sosial yang terbentuk
dalam upacara kematian ini, lama-kelamaan akhirnya menjelma menjadi tradisi
dalam tata pergaulan masyarakat adat Toraja. Hal ini merupakan salah satu
faktor penyebab ritus rambu solo’ tetap bertahan di tengah zaman yang
berubah. Menurut Prof. M. Paranoan, (M. Paranoan, 1990 : 15 – 22) motivasi
sosio-kultural memainkan peranan penting dalam pada perlakuan orang mati di
Tana Toraja antara lain:
a) Sebagai wadah pemersatu keluarga artinya; melalui ritus rambu
solo’, relasi kekeluargaan disegarkan kembali. Ritual ini menjadi ajang reuni
para kaum kerabat, bahkan dengan semua handai tolan atau kenalan biasa. Orang
bertamu, duduk bercerita massalu nene’ (menelusuri garis keturunan)
sambil ma’ panggan (siri-pinang) sehingga hubungan kekerabatan antara
keluarga besar kembali erat.
b) Sebagai tempat membagi warisan artinya; suatu kebiasaan yang
dilakukan keluarga si mati dalam ritus rambu solo’ adalah ma’ tallang
atau mangrinding (membagi warisan). Ma’tallang artinya
mendapatkan harta warisan “si mati” lewat mantunu (mengorbankan kerbau
dan babi pada saat upacara kematian si mati. Yang berhak ikut ma’tallang
ialah anak kandung si mati, kalau si mati tidak mempunyai anak, maka saudaranya
berkewajiban menyelenggarakan upacara kematian dan berhak atas harta benda si
mati dengan jalan ma’tallang.
c) Sebagai tempat menyatakan martabat artinya; dalam setiap ritus rambu
solo’ martabat dan harga diri orang Toraja dinyatakan lewat ma’tallang.
Anak dan keluarga “si mati” akan berlomba mencari kerbau yang nilainya tinggi
dalam konteks budaya Toraja. Sehingga banyaknya kerbau dan babi serta
keberhasilan dan kemeriahan penyelenggaraan ritus rambu solo’ akan
meningkatkan martabat keluarga dan menciptakan nilai budaya tinggi. Di sinilah
letak keunikan orang Toraja dalam menghadapi upacara kematian karena tidak
berhitung ekonomis, tetapi yang ditonjolkan ialah karapasan (kedamaian).
d) Sebagai tempat bergotong royong artinya; salah satu ciri khas
orang Toraja adalah gotong-royong, hal ini terlihat dalam tradisi sembangan
ongan (bantuan keluarga atau kenalan sebagai ungkapan belasungkawa) yang
ditujukan untuk membantu pelaksanan ritus rambu solo’. Semua sembangan
ongan berupa kerbau dan babi tidak boleh ditolak oleh keluarga “si mati”. Pada
waktu si pemberi sembangan ongan mengalami kedukaan, barulah bantuan sembangan
ongan-nya dikembalikan yang disebut umbaya’ indan (membayar utang).
Utang sembangan ongan tidak boleh ditagih, walaupun begitu setiap
kelurga yang berhutang akan menggantinya dan membayarnya kembali sesuai dengan
prinsip saling mempercayai dengan penuh tanggung jawab.
e) Sebagai wadah pengembangan seni artinya; dalam ritus rambu
solo’, kesenian orang Toraja dipertunjukkan. Hal ini terlihat pada balun
(kain kafan) berwarna merah, kuning diukir dengan corak matahari yang bahannya
bergantung pada status sosial “si mati”. Selama upacara berlangsung secara
berganti-ganti ditampilkan berbagai kesenian hingga lagu duka yang
mengungkapkan keberanian, kebaikan hati atau riwayat hidup “si mati”.
Para tamu yang datang ma’sembangan ongan
memasuki rante (tempat upacara dilangsungkan) dengan berbaris secara
artistik ma’ulang bulu (berbaris memanjang bagaikan pintalan ijuk).
Kemudian para tamu disambut oleh pa’rinding (penerima tamu) dengan
tarian kebesaran, diikuti keluarga yang berpakaian serba hitam mengantarkan
siri dan pinang.
f) Tempat rekreasi dan memberi makan rakyat artinya; berbagai
atraksi, unsur ritus rambu solo’ ditampilkan seperti, ma’palao
(mengarak jenazah), ma’pasilaga tedong (adu kerbau), ma’sembangan
ongan (barisan tamu), ma’marakka, ma’ badong, massuling, yang
mengungkapkan riwayat hidup “si mati” dalam lagu duka, ma’randing
(tarian penyambutan tamu), ummbating, (meratap), merupakan atraksi yang
sangat menarik ditonton dan dialami sendiri.
Para tamu dan kerabat, duduk bersantai,
makan bersama, ma’puama (bercerita). Semuanya berlangsung dalam
interaksi-partisipasi-spontan, tanpa perintah. Mereka senang berkumpul,
berkenalan dalam suasana rileks.
Semua orang yang hadir dalam upacara
tersebut diberi makan oleh keluarga “si mati” sebagai penyelenggara pesta.
Kerbau, babi, yang dipotong selama beberapa hari dijadikan lauk-pauk. Pada hari
terakhir, semua babi dan kerbau yang masih tersisah dipotong semua – dagingnya
lalu dibagikan kepada pemangku adat, tokoh masyarakat, pemerintah dan rakyat
sekitar. Sebelum hewan kurban disembeli sebagian disisihkan untuk sumbangan
pembangunan seperti; pendidikan, kesehatan, jalanan, rumah ibadat, pengairan
dan fasilitas umum lainnya.
Keunikan dalam ritus rambu solo’ adalah
mengandung sifat ambivalensi – di satu pihak berduka dan di pihak lain
bergembira, namun tetap tercipta kedamaian pada semua pihak.
3. Faktor – faktor
yang Mempengaruhi Kelestarian Ritus Rambu Solo’
a. Dogma Gereja Katholik
Meskipun jumlah umat
Katholik Roma lebih kecil dibanding dengan jemaat Kristen Protestan, (Kristen Protestan
298.221 jiwa, Katolik 108.850 jiwa dari total
450.000 jiwa penduduk Tana Toraja) namun pengaruh Gereja Katholik sangat
kuat serta berjasa besar menyelamatkan kebudayaan suku Toraja yang kini akan
dijadikan UNESCO (United Nation Education Social Culture Organization) sebagai
warisan kebudayaan dunia. Hal itu terlihat pada dilegalkannya ritus rambu
solo’ untuk dilaksanakan oleh umat Katholik Toraja. Sebab ritual rambu
solo’ selaras dengan dogma gereja tentang hubungan antara orang yang telah
mati dengan orang yang masih hidup di dunia dan Guadium et Spes yang
menaruh penghargaan besar terhadap kebudayaan lokal.
Gereja kaum musafir
menyadari sepenuhnya persekutuan seluruh dalam Tubuh mistik Kristus itu. Sejak
masa pertama agama Kristiani, Gereja dengan sangat kidmad merayakan kenangan
mereka yang telah meninggal. Dan karena “inilah suatu pikiran yang mursid dan
saleh: mendoakan mereka yang meninggal supaya dilepaskan dari dosa-dosa mereka”
(2 Mak 12:46), maka Gereja juga mempersembahkan kurban-kurban silih bagi
mereka.” (Sifat Eskatologis Gereja Musafir dan Persekutuannya dengan Gereja di
Surga – Konsili Vatikan II (1962 – 1969) , artikel 50)
Dalam Guadium et Spes,
Gereja berusaha mendorong pelbagai golongan dan bangsa ke arah dialog yang
sejati dan subur, sehingga jangan justru mengacaukan kehidupan masyarakat, atau
menumbangkan kebijaksanaan para leluhur, atau membahayakan watak peragai
bangsa-bangsa yang khas. (Guadium et Spes, Konsili Vatikan II
(1962 – 1969) , artikel 56)
Dua dogma Gereja inilah
yang melindungi ritus rambu solo’ sehingga tetap dapat dilaksanakan
tanpa mengacaukan iman Kristiani dengan perubahan makna-makna yang terkandung
dalamnya. Kalau dulunya dipersembahkan kepada deata (bandingkan dengan kebiasaan orang Israel
pada zaman Perjanjian Lama yang mengurbankan domba jantan kepada Tuhan) kini dimaknai sebagai alat pembagi warisan,
konsumsi kerabat yang melayat, dan sebagai pembayar daging yang telah diterima
oleh si mati semasa hidupnya dari anggota masyarakat adat.
b. Strata
Sosial
Pada masa lalu, status
sosial atau strata sosial dalam masyarakat adat suku Toraja menjadi kebanggaan
tersendiri bagi mereka yang menyandangnya. Menurut Ferry Rita, (Ferry Rita,
2005 : 401) secara umum strata sosial masyarakat adat suku Toraja dapat dibagi
dalam tiga kategori yang dipersonifikasi dari materi awal penciptaan manusia
yaitu,
1. To di ponto bulaan (the golden man), yakni orang “kama datu” ialah manusia yang diciptakan dari materi emas
murni (bulaan tasak) dari permata tulen (nane’ tang karauaan)
yaitu materi inti sari bumi yang diambil Puang Matua untuk menciptakan
generasi pertama penghuni bumi. Manusia dalam kategori pertama ini adalah
keturunan Datu La Ukku’ disebut
dengan gelaran “to ma’rara sudu-sudu” atau “to ma’lite bumbungan
(manusia berdarah putih), dan memiliki status “tana’ bulaan” (raja atau
bangsawan).
2. To di ponto banning (the iron man), yakni orang-orang “rupa datu” ialah manusia yang
diciptakan dari materi biji besi (kulau’ bassi) dan kayu besi (kayu
bassi) yang diambil Puang Matua untuk penciptaan mahluk generasi
kedua dan ketiga yakni para “ pande” (ahli-ahli) dan to indo’ (penghulu
tanaman) manusia dalam kelas ketiga disebut dengan “to ma’rara tau” (berdarah
merah) masih terbagi dua golongan yakni orang yang berstatus to pande
diberi gelar tana’ bassi, untuk
golongan dan status to burake diberi gelar “tana’ karurung”.
3. To diponto litakan (the bloody man), yakni orang-orang “arupa datu” ialah manusia yang
diciptakan dari materi tanah liat (to bulo dia’pa’), untuk golongan dan
status to burake diberi gelar “tana’ kua-kua”.
Untuk menjaga dan melindungi status sosial
setiap orang atau keturunan maka diberlakukanlah tana’ (takaran budaya)
yang dinilai dalam standarisasi kerbau dan berlaku dalam wilayah adat
masyarakat suku Toraja. Maka pada masa pemerintahan raja sanggalla’ (sekitar
abad ke-13), Puang Palodang bersama To Manurun lainnya sepakat
menetapkan pelapisan masyarakat adat suku Toraja ke dalam empat lapisan yaitu;
1. Tana’ Bulaan (Bangsawan Tinggi) =
13 – 24 ekor kerbau
2. Tana’ Bassi (Bangsawan Menengah) = 7 – 12 ekor kerbau
3. Tana’ Karurung (Rakyat Biasa) =
1 – 8 ekor kerbau
4. Tana’ Kua-kua (Hamba) =
1 ekor kerbau
Tana’ dalam ukuran nilai kerbau juga berlaku dalam hal pelanggaran atau
kekeliruan terhadap hukum adat. Misalnya; jika seorang yang menduduki strata puang
atau bangsawan hendak menggugat cerai pasangan hidupnya, maka terhadap
pihak suami atau istri yang dinyatakan bersalah dalam musyawarah adat (kombongan
ada’) diharuskan membayar tana’ sebanyak 24 ekor kerbau kepada pihak
yang dinyatakan benar atau dirugikan dalam hal pelanggaran tersebut.
Meskipun setelah agama
Kristiani masuk ke dalam sendi-sendi kebudayan suku Toraja dan menghapuskan
sistem tana’, namun hal itu tidak menghilangkan tradisi sembangan
ongan dalam ritual rambu solo’.
Sehingga terbuka peluang bagi yang dulunya termasuk golongan tana’
kua-kua, (kasta bawah) untuk menyamai bahkan melewati jumlah kerbau yang
dikurbankan dalam pesta kematiaan tana’ bulaan asalkan mampuh secara
ekonomi.
Jika ditelaah secara
mendalam dengan bertumpuh pada realita-realita yang terjadi belakangan ini
dalam pelaksanaan ritual rambu solo’, secara terselubung, masyarakat
Toraja sebenarnya masih berkeinginan untuk mempertahankan status sosialnya, dan
kalangan bawah (tana’ karurung dan tana’ kua-kua) yang mampu secara
ekonomi berusaha untuk menaikkan statusnya dengan jalan mengurbankan puluhan
hingga ratusan kerbau dan babi pada saat melaksanakan ritual rambu solo’
melewati ketentuan tana’.
c. Adanya Fungsi Sosial dalam Ritus Rambu
Solo’
Telah dijelaskan pada bagian awal bahwa ritual rambu solo’ sarat
dengan fungsi sosial antara lain:
a) Sebagai wadah pemersatu keluarga
b) Sebagai tempat membagi warisan
c) Sebagai tempat menyatakan martabat
d) Sebagai tempat bergotong-royong
e) Sebagai wadah pengembangan seni
f) Tempat rekreasi dan memberi makan rakyat
Dengan adanya fungsi sosial yang terkandung
dalam ritus rambu solo’, maka dengan sendirinya tetap lestari sebab
masyarakat adat sendiri membutuhkannya dan masyarakat Toraja bangga akan hal
tersebut.
4. Merekonstruksi
Makna
Interpretasi terhadap
ritual rambu solo’ adalah suatu budaya pemborosan. Interpretasi demikian
bukan hanya muncul dari luar melainkan juga dari masyarakat Tana Toraja
sendiri. (M. Paranoan, 1990 : 1) Bayangkan jika suatu rumpun keluarga
mengeluarkan biaya hingga Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) hanya
untuk pesta kematian. Sehingga terkadang ada ungkapan sinis dari pemuda-pemuda
Toraja sendiri seperti, “ianna den baine magarattak mi tiro, pekutanani dolo
denparaka nene’na” (kalau ada wanita cantik yang kalian lihat, tanyakan
dulu apakah neneknya masih ada).
Profesor Marrang Paranoan dalam analisis
psiko-sosio-kulturalnya terhadap upacara kematian orang Toraja (Marrang
Paranoan, 1990 : 10 – 11) mengungkapkan bahwa, upacara kematian orang Toraja
atau ritus rambu solo’ adalah salah satu ajaran Aluk Todolo, di
mana dalam Aluk Todolo diajarkan bahwa:
1. Mati adalah perpindahan tempat dan status dari Lino ke Puya.
Segalah sesuatu yang dimiliki semasa hidupnya di lino akan dibawanya ke puya,
seperti harta benda dan status sosialnya.
2. Apabila si mati diupacarakan sesuai status yang berlaku bagi tana’-nya
dan disempurnakan, maka jika dulunya ia menduduki tana’ bulaan setelah
di puya si mati akan menjadi to mebali puang dan mendapat
kedudukan di langi bersama Puang Matua.
Jadi, dari ajaran Aluk
Todolo tentang pentingnya pelaksanaan ritual rambu solo’ dapat
dipetik suatu makna bahwa seorang anak hendaknya berbakti kepada orang tua.
Dalam mewujudkan rasa bakti itulah kemudian diadakan ritual rambu solo’,
dan hewan kurban sebagai silih atas dosa-dosa mereka selama masih di lino.
Sebab seorang anak yang berbakti tentulah ingin agar orang tuanya bahagia di
akhirat.
Namun akhir-akhir ini,
makna ritual rambu solo’ justru semakin kabur. Banyaknya hewan kurban
bukan lagi dimaksudkan sebagai ungkapan rasa cinta kasih yang tulus seorang
anak kepada orang tua yang sudah meninggal, melainkan lebih dominan kepada
“pertarungan merebut harta warisan dan martabat”, akhirnya membawa perpecahan
di dalam kelurga. Padahal empat unsur yang terkandung dalam ritual rambu
solo’ yakni, cinta, prestise, religi
dan ekonomi kedudukannya harus setara. Ritual rambu solo’ bukanlah pesta
melainkan upacara.
Bertolak dari keprihatinan
di atas dan demi kelestarian budaya, sebaiknya makna dan tujuan yang ingin
dicapai dalam setiap pelaksanaan ritus rambu solo’ perlu diluruskan
kembali. Oleh kerena itu, sosialisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
ritus rambu solo’ mutlak dilakukan oleh Pemangku Adat, Tokoh-Tokoh
Masyarakat, yang dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah sebagai wujud rasa
tanggung jawab dalam memelihara dan menjaga serta mengembangkan kebudayaan.
Apalagi dengan diusulkannya budaya Toraja sebagai warisan kebudayaan dunia ke
UNESCO.
Sebuah terobosan yang
berani dan sangat menarik dan saya kira pantas untuk dicontoh sebagian besar
masyarakat Tana Toraja yaitu ketika Komisaris Jenderal Insmerda Lebang, salah
satu penggagas acara "Toraya Mamali" pada Oktober 2006 lalu. Saat mengupacarakan
mendiang ayahnya, Kolonel (Pol) Ernst Lebang dengan upacara yang relatif
sederhana. Acara tersebut kabarnya hanya memotong tiga ekor kerbau dan
menyerahkan uang (yang seharusnya dapat membeli kerbau lebih banyak lagi) untuk
disumbangkan guna pembangunan desa.
B. Pengarauh Ritus Rambu Solo’ Terhadap Pendidikan di Tana Toraja
Pendidikan pertama kali diperkenalkan kepada suku Toraja oleh para
misionaris Katholik dan Protestan. Kemudian para misionaris ini mulai
mendirikan sekolah-sekolah sebagi tempat mendidik sekaligus mengajarkan agama
Kristen kepada pemuda-pemuda Toraja.
Berdasarkan data dari Bagian Sistem Informasi Biro Perencanaan dan
KLN DEPDIKNAS – 2007, Kabupaten Tana
Toraja menduduki urutan ketiga kepadatan sekolah dan siswa di bawah Kota Makassar
dan Kabupaten Bone. (data terlampir)
Sementara itu, Tana Toraja adalah daerah pedalaman yang paling rendah
angka buta aksaranya dibanding daerah pedalaman lainnya di Propinsi Sulawesi
Selatan. (data terlampir)
Ferry Rita dalam disertasi doktoralnya yang berjudul; Konteks
Paralelisme Semantis dalam Budaya dan Bahasa Toraja di bidang Linguistik
menyatakan, proses pendidikan tradisional mengarah pada kepentingan praktis
seperti; religi, hukum serta etika. Orang tua menurunkan pengetahuan mereka
kepada anak-anaknya dengan cara empirik. Cara ini disebut sistem pengajaran “titian
kacang” (umpaloloan utan kadong) yang dilakukan dengan cara repetisi
kanonik. Sistem ini mengarahkan setiap anak didik untuk mengetahui dan memahami
setiap hal dengan baik dan benar. Misalnya, untuk memahami susunan warna
pelangi (tindak sarira) diajarkan dengan singkatan “ra-gi-ri-do-la-ga”
terdiri atas warna-warna merah (rarang), jingga (sugigi), kuning
(riri), hijau (ido), nila (ballau), dan warna ungu (riga).
Sistem berhitung masyarakat Toraja diajarkan secara sederhana dan
praktis kepada setiap generasi dengan pola binary yang dimulai dari pola
membagi (:), mengurangi (-), menambah (+), dan mengalikan (x). Metode ini
diajarkan secara praktis kepada anak-anak melalui pola penerapan langsung.
Misalnya, pola membagi (:) dilakukan dengan cara kuotasi yakni dengan membela
bambu (ma’tallanggi), dimulai dari pembagian dua bagian (tipiak dua),
dibagi empat (ditepo a’pa’), dibagi delapan (dileso karua),
dibagi enam belas (daluk sangpulo annan), dibagi tiga puluh dua (bidang
tallungpulo dua), dan seterusnya. Begitupun dengan pola pembagian harta
warisan, pembagian irisan daging, dan sebagainya. Pola mengurangi (-) diajarkan
dengan cara diambil (panggalan), menghilangkan (dita’dei), atau
habis dimakan sesuatu. Contonya, lima buah jeruk, duah buah habis dimakan oleh
Tato, sisanya tiga buah jeruk. (lima lemo, pura nakande Tato da’dua, torro
tallu lemo). Berhitung dengan pola pertambahan (+) nilai, diajarkan dengan
cara pemeliharaan, sehingga berkembang biak (kerangngan) dan
menghasilkan (mendadi) suatu pertambahan. Contoh, Si Duma memelihara
seekor kerbau belang dan kemarin malam melahirkan seekor kerbau belang lagi,
sekarang Duma memiliki dua ekor kerbau belang. (So’ Duma unnampui misa’
tedong bonga, sangmai’ bongi ungkadadian misa tedong bonga, mendadi da’duamo
tedong bongana so’ Duma). Selanjuitnya, pola perkalian (x) diajarakan
dengan cara perhitungan pendapatan atau penghasilan dalam kemungkinan hari,
minggu, bulan dan tahun. Contohnya, Si Markus adalah seorang pengukir, setiap
harinya dia diberi gaji Rp. 5.000,00 sehingga dalam satu minggu dia memperoleh
gaji sebesar Rp. 35.000,00 (So’ Makku’ to manura’ anna dipagadi si
limangsa’bu ruppia sanggallo, ianna sang minngu untarima gadi tallungpulo lima
sa’bu).
Pendidikan keterampilan tradisional diajarkan secara otodidak
melalui pengalaman empiris dari generasi ke generasi dalam sebuah rumpun
keluarga. Bakat-bakat seperti itu umumnya merupakan bakat alam yang dikuasai
secara turun-temurun. Misalnya, keterampilan menenun (ma’tannun),
mengukir (massura’), pandai anyaman (pangganan), pandai besi (pande
bassi), pandai gerabah (pande kurin), pandai lesung (pande
issong), dan sebagainya.
Ada tiga faktor pengaruh ritus rambu solo’ terhadap
perkembangan pendidikan di Tana Toraja;
1. Faktor Psikologis
Ritus rambu solo’ merupakan
suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap keluarga dalam masyarakat
Tana Toraja. Namun di satu sisi, sumberdaya alam di Tana Toraja sangat minim.
Lalu dari mana mereka mendapatkan uang untuk membiayai upacara kematian?
Tekanan psikologis seperti ini mendorong sebagian besar orang-orang Toraja
merantau mencari pekerjaan. Untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan upah
yang besar, orang-orang Toraja membekali dirinya dengan pendidikan.
Contoh kasus adalah,
seorang responden bernama Tato di Sa’dan mengungkapkan bahwa ketika ia masih
kelas 1 SMP kakeknya meninggal dunia, karena tidak adanya uang untuk
mengupacarakan pemakaman, maka mayat kakeknya tersebut masih disimpan di atas
rumah sampai sekitar 10 tahun hingga kedua kakaknya menyelesaikan studi.
Barulah setelah kedua kakaknya tersebut bekerja dan menghasilkan uang, sang
kakek diupacarakan sesuai dengan statusnya.
Dalam tradisi orang Toraja,
sebelum “si mati” dialuk dalam ritus rambu solo’, “si mati”
tersebut masih dianggap hidup dengan sebutan to makula’ (orang sakit).
Begitu pula dalam pergaulan sosial kemasyarakatan, “si mati” masih berhak atas
sejumlah hak-haknya, seperti jika dalam pembagian daging dalam sebuah ritus rambu
solo’, ia masih berhak mendapatkan bagiannya sesuai dengan kedudukannya
dalam masyarakat adat.
Jadi tekanan psikologis
sebagai wujud rasa tanggung jawab seorang anak terhadap upacara pemakaman orang
tuanya, telah membuat orang-orang Toraja menekuni dunia pendidikan sebagai
jalan mendapatkan uang yang berlimpah hanya demi sebuah upacara kematian.
2. Faktor Ekonomi
Seperti yang telah
diungkapkan di atas bahwa alam Tana Toraja tidak menyediakan sumberdaya yang
cukup melimpah untuk dikelolah. Namun di satu sisi mereka harus membiayai
pendidikan anak-anak mereka yang jumlahnya tidak sedikit. Namun dengan adanya
ritus rambu solo’, hewan ternak seperti kerbau dan babi memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Bayang jika seekor “tedong bonga” (kerbau belang)
dihargai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Dari keadaan seperti inilah
kalangan ekonomi menengah ke bawah berkesempatan mendapat keuntungan yang
berlipat ganda. Sehingga mereka dapat membiayai pendidikan anak-anak mereka
hingga ke jenjang yang tinggi.
3. Faktor Sosio-kultur
Sudah menjadi ciri khas
orang Toraja jika mereka selalu berusaha meraih martabat atau status sosial
yang terhormat, khususnya kalangan “mantan bangsawan”. Untuk itulah mereka
relah meluangkan duduk di bangku sekolah demi mengejar gelar sarjana, walaupun
dikemudian hari mereka mulai mengenal hakikat pendidikan yang sebenarnya.
Faktor sosio-kultur ini
sebenarnya hanyalah merupakan faktor turunan, tapi dinilai cukup memiliki
pengaruh dalam mendorong sebagian kecil orang Toraja untuk menempuh pendidikan.
Artinya faktor sosio-kultur tidak muncul langsung dari unsur ritus rambu
solo’ tetapi pada dampak yang ditimbulkannya, yakni martabat dan kehormatan
suatu keluarga.
Misalnya ada sebuah
keluarga yang tetangganya memiliki anak dengan pendidikan tinggi atau sarjana,
maka keluarga itupun akhirnya terdorong menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Profesor Marrang Paranoan, dalam analisa psiko-sosio-kulturalnya
terhadap ritus rambu solo’, menyatakan bahwa setiap kelurga berusaha
memberi sesuatu yang terbaik kepada anak cucu mereka dengan harapan agar
keturunannya mendapat kehidupan yang berkecukupan dan bahagia. Setiap orang tua
berharap agar anak cucunya merawatnya pada hari tuanya dan secara khusus bagi
orang Toraja berharap agar anak cucunya mengupacarakannya secara sempurna
sesuai statusnya (tana’) agar arwahnya di puya tetap menduduki
statusnya seperti di lino. (Marrang Paranoan, 1990 : 13) jika pendapat ini
dihubungkan dengan perkembangan pendidikan di Tana Toraja, maka setidaknya
dapat ditarik satu alasan mengapa orang Toraja termotivasi menempuh
pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa orang Toraja terdorong menyekolahkan anaknya dengan harapan suatu kelak
anak cucunya hidup berkecukupan. Sehingga jika ia meninggal anak cucunya dapat
mengupacarakannya dengan sempurna.
Menurut Kartini Kartolo, dalam upacara-upacara adat orang Toraja
khususnya ritus rambu solo’, anak-anak berinteraksi secara langsung
dengan sesamanya dan orang dewasa lainnya. Melalui interaksi ini mereka tanpa
sadar mengimitasi, mengadaptasi, mengidentifikasi, dan menginternalisasi segala
bentuk peraturan, norma, sikap, pengalaman, perilaku yang telah diharuskan dan
akan dipedomaninya sebagai anggota masyarakat kecil. Peranan orang tua dalam
kepribadian anak sangat penting karena orang tualah yang menyiapkan lingkungan
sosial tempat bereksperimen anak dalam memperkembangkan kepribadiannya.
(Kartini Kartolo, 1984 : 8) Jika kita menghubungkan pendapat Kartini Kartolo
ini dengan perkembangan pendidikan di Tana Toraja, maka dapat disimpulkan bahwa
ritus rambu solo’ memberi kontribusi besar terhadap perkembangan pola
pikir dan kedewasaan seorang anak. Pola pikir yang dinamis dan dewasa inilah
yang membantu mereka dalam menganalisa berbagai mata pelajaran di sekolah.
Dalam sebuah seminar, Ishak Ngeljaratan (seorang budayawan)
mengungkapkan bahwa stuktur otak orang Toraja adalah yang paling baik diantara
semua suku di seluruh nusantara. Sebab, ketika ibu-ibu hamil mereka banyak
mengkomsumsi daging yang melimpah dalam upacara-upacara pemakaman. Sehingga
struktur otak bayi yang dikandungnya terbentuk dengan baik akibat dari asupan
protein yang lebih dari cukup. Namun terhadap wacana ini belum diadakan sebuah
penelitian, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah jika
dijadikan sebagai salah satu faktor yang mendorong berkembangnya pendidikan di
Tana Toraja.
C. Pendidikan Berbasis
Kebudayaan
- Prospek
Pendidikan Tana Toraja
Tana Toraja telah berhasil
melahirkan sekolah-sekolah menengah unggulan seperti, SMA Kristen Barana, SMA 1
Makale, STM Tagari, SMA Katholik Makale, dan SMA 1 Rantepao. Sederetan sekolah
unggulan ini tentu mencerahkan prospek pendidikan di Tana Toraja. Oleh karena
itu, Tana Toraja sangat potensial dijadikan sebagai pusat pengembangan
pendidikan di Sulawesi Selatan. Panorama alamnya indah nan sejuk menyegarkan
pikiran serta kebudayaan yang unik akan selalu mendorong munculnya ide-ide
kreatif.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan prospek
pendidikan di Tana Toraja sangat baik yaitu:
1. Tana Toraja masih jauh dari pengaruh kosmopolitan, sehingga masih
ada peluang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional dalam dunia
pendidikan berbasis kebudayaan.
2. Diusulkannya beberapa situs kebudayaan Tana Toraja ke UNESCO untuk
dijadikan warisan kebudayaan dunia membuka peluang bagi pendidikan untuk
berinteraksi secara langsung dengan dunia internasional.
3. Secara kultur, orang Toraja sudah menganggap pendidikan sangat
penting, sehingga mereka selalu terdorong untuk menyekolahkan anak-anak mereka
hingga ke jenjang yang tertinggi.
2. Pendidikan Berbasis Kebudayaan
Tana Toraja sebagai ranah
kebudayaan memiliki keunggulan komparatif, baik ditinjau dari potensi
peninggalan suaka purbakala, norma, adat, budaya dan seni pertunjukan, maupun
seni kerajinannya, belum lagi potensi alam yang penuh keajaiban dan keindahan
alam, semua ini merupakan mozaik pusaka budaya sebagai anugerah Tuhan (Puang
Matua) yang harus dijaga dan dikelola dengan kearifan lokal dan tetap
merujuk kearifan masa silam dalam menatap masa depan Tana Toraja sebagai
warisan kebudayaan dunia.
Model pengembangan pendidikan di Tana Toraja
adalah pendidikan yang berbasis kebudayaan seperti yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922 dalam
Taman Siswa. Dimana anak-anak Indonesia dididik dalam suatu sistem pendidikan
yang berakar pada kebudayaan sendiri, bukan pendidikan yang berakar pada
kebudayaan Belanda. Demikian halnya dengan pola pengembangan pendidikan di Tana
Toraja yang senantiasa didasarkan atas nilai-nilai luhur budaya Toraja.
Pendidikan tidak hanya menyangkut aspek kecerdasan secara lahiriah, namun harus
mencakup kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual dalam rangka
meningkatkan rasa ketaqwaan, kejujuran, tanggung jawab pribadi maupun sosial,
budi pekerti, tata krama hingga seseorang mampu mengoptimalkan "daya
cipta, rasa, karsa" yang ada pada pribadi masing–masing sesuai
kebutuhannya. Pendidikan harus mampu memberikan pencerahan secara batiniah
maupun lahiriah atas dasar siklus kehidupannya yang bertumpu pada nilai-nilai
budayanya, dimana hakekat kehidupan itu sendiri harus mampu memberi makna bagi
orang lain, bukan menjadi beban orang lain bahkan jangan sampai merampas
hak–hak orang lain (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Pendidikan berbasis
kebudayaan akan melahirkan generasi baru yang merupakan perpaduan antara
kebudayaan lokal dengan modernitas. Dimana antara modernitas identitas lokal
dibingkai dengan diaspora, sehingga identitas lokal tidak tergerus oleh
modernitas.
Ada beberapa unsur yang terdapat dalam
budaya Toraja yang dijadikan tumpuan penerapan pendidikan berbasis kebudayaan
antara lain:
a. Laki Padada
Laki Padada adalah nenek moyang suku Toraja, seorang pemikir (Pande Paliu)
sekaligus kesatria yang bijaksana memperjuangkan hidup sebagai hak asasi yang
paling hakiki. Ia adalah manusia titisan dewa yang telah mencapai kesempurnaan (sundun’
rongko’na) berkat kegigihannya dalam pengembaraan mencari tang mate (tidak
mati). (Ferry Rita, 2005 : 419) Laki Padada dalam mencari tang mate
senantiasa tekun dan taat pada aturan serta menjunjung tinggi kebenaran sebab
baginya itulah jalan mencapai kesempurnaan hidup. Ia mengatakan, “to sundun
rongko’na iamo tu to batta sia bintin lan salu sangka’ kaparannuanna”,
artinya; “orang sempurna martabatnya ialah orang tekun dan taat dalam jalur
benar keyakinannya”.
Laki Padada adalah sosok pemikir rasionalis,
ia mengatakan “tae’ sangka’ ia kupatongan belanna ada’ri ba’tu pa’passusian
punala” artinya; “tidak ada kebenaran yang meyakinkan saya sekedar melalui
contoh dan tradisi belaka”. Konsekuensi dari pandangannya itulah yang
membuatnya pergi mencari tang mate untuk dan mencari tahu tentang
unsur-unsur yang ada dalam dirinya.
Dalam kisah Laki Padada (cerita lengkapnya
ada di lampiran) yang pergi mengembara mencari tang mate tersirat suatu
makna bahwa sejak dahulu nenek moyang orang Toraja haus ilmu pengetahuan. Hal
ini terus menurun ke keturunannya hingga sekarang. Sehingga orang-orang Toraja
masa kini selalu tergerak mencari ilmu hingga ke tempat yang jauh.
b. Tongkonan
Salah satu kriteria sebuah Tongkonan
(rumah adat Toraja) adalah di le’to kayunna (ditebang kayunya) yang
artinya, tingkat kelayakan dan hidup yang berguna dapat juga dimiliki oleh
seluruh keluarga Tongkonan seperti rimbun pohon beringin (mellolo
barana’), tingginya kayu cendana (mendolok kayu sendana), dan berbau
harum seperti pokok gaharu (busarunggu’ susi pokko kayu lama’).
Dari kriteria di atas, tersirat suatu
harapan dan cita-cita hidup orang Toraja yakni; bertumbuh dan berkembang
menjadi seperti pohon beringin, berilmu pengetahuan tinggi seperti tingginya
kayu cendana agar dapat mengerti segala sesuatu dan berlaku bijak, memiliki
etika serta berakhlak yang baik sehingga dapat bergaul dengan semua kalangan
bagaikan harumnya pokok kayu gaharu.
c. Pa’ulu Karua
Pa’ulu karua adalah simbol universal terhadap kata yang bermakna khusus “tak
terhingga”. Bagi orang Toraja kata atau lambang berbentuk angka delapan itu
melambangkan angkasa raya. Angka delapan (karua) merupakan personifikasi
yang bermakna khusus bahwa “ilmu pengetahuan” lebih luas dan lebih jauh
daripada “angkasa raya”. Artinya, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tidak
ada batasnya dan tak terhingga jumlahnya serta selalu bersinergi dan berkaitan
satu dengan yang lain. Sehingga pa’ulu karua menjadi dasar bagi manusia
untuk mengerti segala sesuatu termasuk dirinya sendiri yang sifatnya tak
terbatas pada kondisi waktu, ruang, dan tempat serta keguanaanya yang tak
terhingga untuk membangun kehidupan manusia dan masyarakat sosial lainnya.
(Ferry Rita, 2005 : 504 – 505)
d. Pa’ Tedong
Makna yang terkandung dalam ukiran pa’ tedong
bukan kesempurnaan melainkan hasil atau nilai. Semua kegiatan manusia harus
membuahkan hasil yakni makna-makna hidup yang kemudian terakumulasi dalam suatu
kesempurnaan. Sehingga ukiran pa’tedong menjadi pembatas dinding (osokan
rinding) pada rumah Tongkonan. Sebab setiap ukiran pada dinding
adalah ikonisitas dari setiap kegiatan manusia. Keseluruhan makna ukiran
bermuara pada sejumlah hasil-hasil kemudian terakumulasi dalam kesempurnaan
nilai (sundun rong ko’na).
Rasionalisasi seperti inilah yang kemudian
mengilhami masyarakat Toraja masa lalu (baca: Laki Padada) dalam perjalanan
hidupnya berlomba-lomba mencari makna hidup ke seantero bumi demi mencapai
puncak kehidupan yang sempurna.
Dari nilai-nilai sosial budaya Toraja di
atas, semuanya bermakna pada semangat orang-orang Toraja mencari ilmu
pengetahuan. Nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam dunia pendidikan
dengan cara menyusun kurikulum budaya Toraja, dimana kurikulum tersebut
berisikan seluruh nilai-nilai budaya Toraja. Metode penerapan kurikulum
tersebut mengacu pada pola penuturan lisan seperti puama (cerita) dan salu
nene’ (silsila kelurga). Sebab sejak kecil anak-anak Toraja sudah terbiasa
mendengar cerita dari orang tua (baca: nenek)
dalam upacara rambu solo’. Cerita itu terus melekat kuat dalam
ingatan mereka lalu menuturkan cerita yang sama kepada keturunan mereka kelak.
Sehingga nilai-nilai itu terus hidup sebagai landasan pelaksanaan pendidikan
berbasis kebudayaan. Dalam pendidikan berbasis kebudayaan, nilai-nilai dan
semangat kulturlah yang diadopsi untuk dikolaborasikan dengan budaya populer (mass
culture). []
DAFTAR
PUSTAKA
C. Salombe. 1972. Sawerigading
Menurut Versi Toraja. Ujung Pandang.
Guadium et Spes. 1969. Konsili
Vatikan II. Roma.
Kartolo, Kartini. 1984. Psikologi
Wanita Jilid II, Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Bandung; Penerbit Alumni.
Kruyt. 1938. De West
Toradjas op Midden Celebes. Amsterdam; Nieuwe Reeks Deel XL.
Madjid, Nurcohlish. 2004. Indonesia Kita. Jakarta; Gramedia.
Marzuki,
C. 1999. Metodologi Riset. Jakarta: Erlangga.
Paranoan, Marrang. 1990. Upacara
Kematian Orang Toraja, Analisis Psiko-Sosio-Kultural. Rantepao; Percetakan
Sulo.
Rita, Ferry. 2005. Disertasi,
Konteks Paralelisme Semantis dalam budaya dan Bahasa Toraja. Makassar; Universitas
Hasanuddin.
Solaeman, M. Munandar. 1987. Ilmu
Budaya Dasar, Suatu Pengantar. Bandung; PT Eresco.
Sabri AR, Mohd. 2007. Demokrasi
Transisional dan Masa Depan Bangsa, Sebuah Permenungan Bagi Generasi Baru.
Di dalam Workshoop School of Demokrasi; Makassar, 28 – 29 November 2007.
Halaman 4.
Taman Siswa. 1956. Taman
Siswa 30 Tahun, 1922-1952. Yogyakarta; Percetakan Taman Siswa.
[1] Makalah
ini meraih Juara II pada
Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Wilayah Sulawesi Tahun 2008.
[2] Lulusan S1 dari Fakultas Hukum UKI Paulus
pada tahun 2010. Semasa kuliah sebagai jurnalis kampus di Tabloid Kampus Gaung
serta pernah menjabat sebagai Menteri Dalam dan Luar Lembaga Aspiratif
Mahasiswa BEM UKI Paulus pada tahun 2008.
ini sangat bermanfaat
BalasHapusini sangat bermanfaat
BalasHapus